Rabu, 29 Mei 2013

Mengapa Aku Memilih Tarbiyah

Aku kenal tarbiyah memang belum lama, awal ikut sebenarnya juga ga sengaja, ikut mabit (malam bina iman dan taqwa) terus tau-tau dikelompokin dan diajak ada pertemuan rutin, akhirnya aku ikut terus bahkan sampai lulus SMA aku pun lanjut di kampus. Beberapa tahun yang lalu aku sadar ternyata pengelompokan seperti itu adalah ‘format nasional’ karena di kampus pun formatnya sama seperti itu. 

Meski waktu itu marak isu terorisme yang pelakunya dulunya dianggap anak yang alim ‘aktivis masjid’ sehingga media mengingatkan untuk berhati-hati dengan gerakan seperti itu apalagi sasarannya adalah kebanyakan pelajar, aku tak pernah terbesit sedikit pun halaqah itu seperti yang diberitakan TV, justru aku merasa senang ikut di kelompok halaqah itu (nama kerennya mentoring). Aku masih inget mentorku bilang yang ikut mentoring ini bukan cuma orang biasa tapi pejabat banyak yang mentoring juga, maklum anak kampung yang ga tau apa-apa diceritain seperti itu langsung takjub. Waktu itu disebutin ketua MPR pak Hidayat Nur Wahid, Menpora pak Adhiyaksa Daud ternyata ikut mentoring, dalam hati aku berkata “beuh..keren juga nih”. Saat masuk kampus aku baru sadar kalau ini adalah Jamaah Tarbiyah.

Di dalam Tarbiyah ini juga aku bertemu dengan teman-teman luar biasa yang sering kali membuatku rindu, rindu canda tawa mereka, bercengkrama selepas sekolah mengandai-andai ide-ide besar yang ingin dilakukan, rindu merasakan kehujanan saat menyebar proposal sponsor, rindu berdiskusi mengagendakan rihlah kelompok halaqah namun berujung pada rihlah ROHIS se-kabupaten, rindu untuk berdebat mengutarakan pendapat masing-masing dan rindu makan mie ayam setelah halaqah.

Di dalam Tarbiyah kami merasakan betapa manisnya ukhuwah itu, mengajarkan untuk berpikir besar, dan meluruskan niat semua amal hanya karena Allah. Seorang dosen pernah memberikan nasehat ‘ Seandainya di akhirat nanti kamu di tanya amalan apa yang kamu kerjakan secara kontinue? Maka selain menjawab amalan wajib dan sunnah kamu juga bisa menjawab saya mengikuti kajian tarbawi setiap pekan’.

Namun menjadi orang Tarbiyah atau bukan itu adalah pilihan. Karena tidak ada paksaan dalam Islam. Jika sebuah jamaah ibarat kendaraan bila ingin pergi ke satu tujuan kita berhak memilih kendaraan mana yang akan kita tumpangi apakah mobil, motor, angkot, bus,pesawat atau yang lain, tergantung selera, kenyamanan, keefisienan dll. Akan tetapi ketika sudah memilih satu kendaraan kita harus menghormati aturan yang berlaku di dalam kendaraan tersebut, misal di Pesawat handphone/alat elektronik harus dimatikan karena bisa mengganggu penerbangan namun tidak halnya dengan di mobil, angkot, ataupun kereta. Memang ga bisa dianalogikan semudah itu tapi itulah kira-kira gambarannya. Poin intinya adalah ketika sudah memilih maka kita menghormati dan patuh pada aturan yang berlaku.

Di Tarbiyah ini aku bertemu dengan manusia-manusia yang “berbeda” dari kebanyakan  orang. Kata mentorku dulu, “Mentoring itu membuat kita berbeda dan memang berbeda, jadi kita mesti siap menjadi orang yang berbeda”. Ya, pernah di saat kegiatan OSIS atau Ekstrakurikuler lain mengadakan acara yang lingkupnya sekolah saja, anak-anak ROHIS yang notabene waktu itu terwarnai dengan Tarbiyah membuat sebuah gebrakan, Motivation Training untuk siswa SMA se-kabupaten dengan peserta 2000 orang. Sesuatu yang tidak biasa bagi siswa SMA, apalagi di kota kecil yang jauh dari ibu kota. Tidak sedikit yang mencibir, banyak pula yang menganggap remeh, tapi mereka tak pernah goyah. Itulah mereka selalu memikirkan gagasan besar yang berujung pada agenda yang luar biasa.

Ya, semangat yang tak pernah padam itu yang terlihat kawan-kawanku di Tarbiyah ini. Sering kali ide-ide besar muncul dari kelompok kecil halaqah, waktu itu aku dan kawan se-halaqah ingin mengadakan rihlah (tafakur alam) untuk kelompok kami namun seorang kawan mengusulkan agar menjadi rihlah ROHIS saja. Begitu ditawarkan ke kawan-kawan ROHIS yang lain justru mereka mengusulkan agar menjadi rihlah ROHIS se-kabupaten sekaligus mengaktivkan ROHIS di SMA yang lain. Akhirnya dengan panitia kurang lebih 20 orang rihlah ROHIS se-kabupaten terlaksana dengan peserta mencapai 200 orang, bahkan karena semangatnya ada panitia yang jatuh pingsan kelelahan.

Di Tarbiyah ini pula aku belajar tentang ukhuwah, ukhuwah itu sederhana ketika bertemu dengan temanmu maka ucapkanlah salam, ketika kau mempunyai makanan maka berbagilah, ketika temanmu sakit maka jenguklah ia, ketika temanmu ulang tahun sampaikanlah doa untuknya, ketika temanmu terjatuh maka ulurkanlah tanganmu, ketika temanmu khilaf maka nasehatilah ia, ketika temanmu berprestasi maka ikut bergembiralah, ketika temanmu dirundung duka maka tepuklah pundaknya dan pinjamkan bahumu untuk bersandar, ketika temanmu sedang kesulitan maka katakan “apa yang bisa saya bantu?”, ketika temanmu berbuat salah janganlah kau langsung menghakimi tetapi tabayun terlebih dahulu dan ingatkan ia, dan ketika kau sholat malam maka sebutlah nama mereka dalam untaian doa yang kau panjatkan. Ya, sesederhana itu ukhuwah yang ku pelajari di Tarbiyah, semua itu tidak membutuhkan harta yang melimpah, raga yang kuat, waktu yang luang, pikiran yang cerdas,..tetapi membutuhan hati yang ikhlas.

Di atas aku mengatakan menjadi Tarbiyah atau bukan itu adalah pilihan, oleh karenanya ada beberapa temanku yang memilih tidak menjadi bagian dari Tarbiyah. Ada yang menemukan tempat yang menurutnya lebih baik, ada juga yang tidak suka aturan yang berlaku di ‘kendaraan’ ini. Memang berada di Tarbiyah tidak selalu menyenangkan, lelah fisik dan fikiran itu hal yang biasa, kecewa dengan keputusan jamaah, atau kerja kerasnya sering kali tidak dihargai memang itu bisa saja terjadi karena jamaah ini adalah jamaah manusia yang pasti pernah salah dan lupa. Namun seperti apa yang pernah diutarakan oleh Sarwo Widodo


Apakah mereka yang selalu berbuat baik itu tak pernah "terluka"? ah kawan.. boleh jadi mereka lah yang paling banyak terluka di "jalan ini" bahkan mungkin hati mereka sudah tak utuh lagi.. tercabik dan terkoyak di sana-sini..lalu mengapa mereka terus menebar kebaikan..? karena yang mereka cintai adalah Allah… bukan dirinya sendiri.
Tarbiyah ini bagiku seperti rumah sederhana di kaki gunung dengan taman kecil dan pohon yang rindang di halamannya. Meski kecil tapi aku merasa nyaman, suasana yang sejuk membuatku betah tinggal di rumah ini. Tinggal di kaki gunung bukan tanpa rintangan, sering kali angin lembah turun menuruni bukit dan menerpa rumah ini, paginya daun-daun berserak mengotori halaman. Tapi daun yang berjatuhan itu bisa memunculkan rutinitas yang menyenangkan di pagi hari, yaitu menyapu halaman, ditemani udara yang sejuk dan pemandangan kota menyapu halaman bisa menjadi kegiatan yang asyik. Tinggal kita merawat dan mengokohkan bangunan rumah agar tetap kuat jika diterpa angin.

Sekali lagi itu adalah pilihan, ada yang merasa nyaman ada juga yang tidak. Namun bagiku “rumah” ini masih nyaman, apakah aku tidak akan pindah ke rumah yang lain?? Hmm…bisa jadi kalau ada rumah yang lebih nyaman, tapi sampai saat ini aku belum menemukan “rumah” yang lebih nyaman selain Tarbiyah.