Kamis, 03 April 2014

Pemanfaatan Sumberdaya Alam dalam Ekonomi Islam

Bulan kemarin, kabut asap menjadi topik yang hangat diberitakan oleh media. Kabut asap ini terjadi kurang lebih sudah terjadi selama 2 bulan dengan daerah yang paling parah adalah provinsi Riau. Riau menjadi daerah yang paling parah karena sebagian besar titik api penyebab asap berada di wilayah Riau. Asap yang muncul bukanlah tanpa sebab, ini terjadi karena adanya pembukaan lahan dengan cara dibakar. Berdasarkan hasil monitoring satelit NOAA 18, titik api yang terdeteksi mencapai 145 titik.
Karakteristik lahan di Riau merupakan lahan gambut. Lahan gambut merupakan jenis tanah yang terbentuk dari sisa-sisa tumbuhan yang setengah membusuk sehingga memiliki kandungan bahan organik yang tinggi. Kebakaran pada lahan gambut cukup susah dipadamkan, karena api yang menyala tidak hanya di permukaan tanah tetapi juga di dalam tanah. Inilah yang membuat penanganan kebakaran lahan gambut cukup lama meski pemerintah sudah mengerahkan pemadam kebakaran.
Tentu asap kebakaran hutan ini sangat merugikan dan dapat menimbulkan eksternalitas negatif. Dampak yang paling dirasakan oleh masyarakat Riau adalah pencemaran polusi udara. Pencemaran ini sangat mengganggu ativitas masyarakat dan menyebabkan penyakit saluran pernapasan. Bahkan pekan lalu tingkat pencemaran udara mencapai level tertinggi yaitu sangat berbahaya.
Menurut Menko Kesra kerugian ekonomi mencapai 10 trilyun rupiah, terutama di dunia penerbangan. Akibat lain kabut asap ini yaitu 50.000 lebih penduduk Riau menderita ISPA dan 3 orang meninggal karena asap dan kebakaran. Dalam ekonomi lingkungan, ada istilah damage assessment yang merupakan salah satu cara menilai kerusakan pada sumberdaya alam. Bisa jadi dengan cara ini kerugian akibat asap jauh lebih besar. Dampak tersebut berupa biaya pencegahan dengan melakukan modifikasi cuaca, bom air, pemadaman lewat darat dan sebagainya. Kerugian juga dapat dilihat dari cost of illness atau biaya kesehatan yang dapat dinilai dari biaya untuk mengobati 50.000 lebih warga yang terjangkit ISPA. Sektor perdagangan juga mengalami kerugian karena terhambatnya arus distribusi produk akibat penutupan bandara.
Pembukaan lahan dengan cara dibakar merupakan langkah yang paling mudah dan murah untuk mendapat keuntungan yang besar. Akan tetapi kerugian yang ditimbulkan ternyata jauh lebih besar. Hal ini bisa jadi karena pengaruh prinsip ekonomi yang berkembang di masyarakat saat ini adalah “berusaha mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya”. Ini merupakan prinsip ekonomi yang dikembangkan oleh negara-negara barat.
Seharusnya sebagai makhluk sosial, dalam melakukan aktivitas ekonomi baik itu produksi, distribusi maupun konsumsi juga memperhatikan dampak terhdap lingkungan sosial dan keberlanjutan sumberdaya tersebut agar bisa tetap dimanfaatkan oleh generasi berikutnya. Dalam Islam, sebenarnya Allah membolehkan manusia untuk memanfaatkan semua yang ada di bumi. “(Dialah) Yang menundukan untuk kalian apa yang ada di langit  dan apa yang ada di bumi” Q.S Al Jatsiyah:13.
   Mindset yang dibangun bukan memanfaatkan sumberdaya alam untuk menumpuk kekayaan akan tetapi memanfaatkan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan kesejahteraan manusia. Sehingga ada rambu-rambu yang mengatur dalam pemanfaatan sumberdaya alam tersebut. Al quran menjelaskan pada surat Al Baqarah:60, “Makan dan minumlah kalian dari rezeki yang telah Allah berikan dan jangan berkeliaran di muka bumi ini dengan berbuat kerusakan”.. Hal ini diperkuat prinsip yang disampaikan oleh nabi “tidak memadaratkan diri sendiri dan tidak memadaratkan orang lain” (H.R Ibn Majah, Ahmad, Malik).
Rambu yang menjadi acuan adalah tidak berbuat kerusakan. Selain itu, pemanfaatan sumberdaya alam juga tidak boleh merugikan diri sendiri dan orang lain. Untuk menjaga rambu-rambu ini peran negara sangat penting. Dalam hal ini, pemerintah mesti menegakkan aturan dengan tegas, karena sumberdaya alam merupakan common property sehingga boleh dimanfaatkan oleh masyarakat. Jika aturan tidak benar-benar ditegakkan maka bisa saja terjadi Tragedy of The Common atau tragedi terhadap barang kepemilikan bersama, dimana sumberdaya tersebut akan habis karena dimanfaatkan terus menerus tanpa ada yang memikirkan keberlajutan suberdaya tersebut.

Islam memberikan solusi dalam pemanfaatan sumberdaya alam. Sumberdaya alam dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Al Quran dan As Sunnah sudah memebrikan rambu-rambu dalam pemanfaatn suberdaya alam. Menurut Al Ghazali tujuan syariah Islam adalah untuk meningkatkan kesejahteraan manusia yang terletak pada perlindungan iman, jiwa, akal, keturunan dan harta. Sehingga jika pemanfaatan sumberdaya alam tersebut justru membahayakan jiwa, iman, akal, keturunan dan harta, atau sebagiannya maka sudah tidak sesuai dengan tujuan syariah. Jika hal tersebut terjadi maka negara wajib mengevaluasi dan mengambil tidakan untuk melindungi masyarakatnya. Tentu untuk mencapai kondisi yang ideal memerlukan perubahan terutama pada mindset tentang ekonomi. Dan Islam sudah menawarkan konsep ekonomi yang menyeluruh jauh-jauh hari sekitar 1400 tahun yang lalu.

Senin, 19 Agustus 2013

Something About L.O.V.E

Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan – perempuan, anak – anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yag baik” (Ali Imran : 14)

Seandainya Majelis Ulama Indonesia (MUI) membolehkan pacaran, sepertinya saat ini sudah banyak aktivis yang berpacaran. Mungkin karena pacaran itu identik dengan kegiatan yang cenderung mengarah kepada zina makanya pacaran itu dilarang. Lalu bagaimana kalau pacaran tetap menjaga nilai – nilai syari? Saling menasehati dalam kebaikan dan kesabaran? Ah…kawan, sering kali logika keimanan kita kalah oleh logika perasaan. Lebih sering menuruti perasaan daripada keimanan kita. Lebih sering mencari – cari alasan syari untuk suatu pembenaran..
Rasa cinta merupakan rahmat Allah yang luar biasa, dengan cinta seorang ibu rela ‘menderita’ selama 9 bulan, dengan cintalah Ainun selalu menemani Habibie kapanpun dan dimanapun berada, dengan cinta pula Rasulullah memberi makan seorang buta yang selalu mencacinya. Cinta bisa membuat sesuatu yang biasa menjadi tampak luar biasa, mampu membuat energi yang dikeluarkan meningkat berkali lipat, akan tetapi jika bukan pada tempatnya cinta bisa membuat yang salah menjadi benar.
Sepertinya tantangan terbesar bagi aktivis bukanlah bagaimana membuat event yang menarik, bukan minimnya dana untuk kegiatan, bukan bagaimana mengelola organisasi yang baik, bukan pula mengelola individu yang berbeda dalam sebuah komunitas tetapi bagaimana mengelola hati jika muncul perasaan antar individu. Beberapa kali sempat mendengar kisah aktivis dakwah yang ‘menikmati cinta sebelum waktunya’,atau bahagia bisa merasakan “cinta”. Mungkin sebagian ada yang menyadari kalau apa yang mereka lakukan itu salah, namun sekali lagi kawan.. sering kali logika keimanan kalah oleh logika perasaan.
Pernah ada yang bilang pacaran memang enak kok, ada yang memperhatikan, ada yang selalu menanyakan “sudah makan belum?”, ada yang selalu mengingatkan jika salah, ada sosok yang bisa dirindukan kehadirannya, dan ada seseorang yang mengisi relung hati yang kosong. Yah..mungkin hal itu yang membuat logika perasaan lebih mendominasi daripada logika keimanan.
Kecenderungan manusia terhadap pasangan jenis (disebut pasangan jenis karena Allah menciptakan manusia berpasang-pasangan bukan berlawanan –red) adalah suatu yang wajar, kadang seorang laki – laki cenderung merasa nyaman bersama wanita pun begitu sebaliknya. Jika muncul rasa cinta diantara mereka itu sesuatu yang baik jika dilakukan dengan tata cara yang diajarkan.
Fenomena ini bukan sepenuhnya salah kawan kita yang jatuh cinta, karena bisa jadi ketika dia butuh perhatian kita tak ada untuknya, ketika dia butuh semangat kita pun tak ada untuknya, dan ketika dia butuh orang yang mengingatkan kita juga tak ada untuknya sehingga ketika ada orang lain yang memberi perhatian, semangat dan mengingatkannya itu bak gayung bersambut. Dan akhirnya ia lebih merasa nyaman bersama orang lain daripada bersama kita.

Namun, bagaimanapun juga mereka yang ‘merasakan cinta’ tetap kawan kita, tetap saudara kita. Ukhuwah ini tak akan pudar meski kita kini “berbeda pandangan”. Maafkan kami yang tak ada ketika kau butuh, maafkan karena tak memberi perhatian yang cukup, dan maafkan kami jika telah membiarkan kau sendiri dalam kebingungan. Semoga Allah memberi hidayah untuk kita kawan.

Rabu, 29 Mei 2013

Mengapa Aku Memilih Tarbiyah

Aku kenal tarbiyah memang belum lama, awal ikut sebenarnya juga ga sengaja, ikut mabit (malam bina iman dan taqwa) terus tau-tau dikelompokin dan diajak ada pertemuan rutin, akhirnya aku ikut terus bahkan sampai lulus SMA aku pun lanjut di kampus. Beberapa tahun yang lalu aku sadar ternyata pengelompokan seperti itu adalah ‘format nasional’ karena di kampus pun formatnya sama seperti itu. 

Meski waktu itu marak isu terorisme yang pelakunya dulunya dianggap anak yang alim ‘aktivis masjid’ sehingga media mengingatkan untuk berhati-hati dengan gerakan seperti itu apalagi sasarannya adalah kebanyakan pelajar, aku tak pernah terbesit sedikit pun halaqah itu seperti yang diberitakan TV, justru aku merasa senang ikut di kelompok halaqah itu (nama kerennya mentoring). Aku masih inget mentorku bilang yang ikut mentoring ini bukan cuma orang biasa tapi pejabat banyak yang mentoring juga, maklum anak kampung yang ga tau apa-apa diceritain seperti itu langsung takjub. Waktu itu disebutin ketua MPR pak Hidayat Nur Wahid, Menpora pak Adhiyaksa Daud ternyata ikut mentoring, dalam hati aku berkata “beuh..keren juga nih”. Saat masuk kampus aku baru sadar kalau ini adalah Jamaah Tarbiyah.

Di dalam Tarbiyah ini juga aku bertemu dengan teman-teman luar biasa yang sering kali membuatku rindu, rindu canda tawa mereka, bercengkrama selepas sekolah mengandai-andai ide-ide besar yang ingin dilakukan, rindu merasakan kehujanan saat menyebar proposal sponsor, rindu berdiskusi mengagendakan rihlah kelompok halaqah namun berujung pada rihlah ROHIS se-kabupaten, rindu untuk berdebat mengutarakan pendapat masing-masing dan rindu makan mie ayam setelah halaqah.

Di dalam Tarbiyah kami merasakan betapa manisnya ukhuwah itu, mengajarkan untuk berpikir besar, dan meluruskan niat semua amal hanya karena Allah. Seorang dosen pernah memberikan nasehat ‘ Seandainya di akhirat nanti kamu di tanya amalan apa yang kamu kerjakan secara kontinue? Maka selain menjawab amalan wajib dan sunnah kamu juga bisa menjawab saya mengikuti kajian tarbawi setiap pekan’.

Namun menjadi orang Tarbiyah atau bukan itu adalah pilihan. Karena tidak ada paksaan dalam Islam. Jika sebuah jamaah ibarat kendaraan bila ingin pergi ke satu tujuan kita berhak memilih kendaraan mana yang akan kita tumpangi apakah mobil, motor, angkot, bus,pesawat atau yang lain, tergantung selera, kenyamanan, keefisienan dll. Akan tetapi ketika sudah memilih satu kendaraan kita harus menghormati aturan yang berlaku di dalam kendaraan tersebut, misal di Pesawat handphone/alat elektronik harus dimatikan karena bisa mengganggu penerbangan namun tidak halnya dengan di mobil, angkot, ataupun kereta. Memang ga bisa dianalogikan semudah itu tapi itulah kira-kira gambarannya. Poin intinya adalah ketika sudah memilih maka kita menghormati dan patuh pada aturan yang berlaku.

Di Tarbiyah ini aku bertemu dengan manusia-manusia yang “berbeda” dari kebanyakan  orang. Kata mentorku dulu, “Mentoring itu membuat kita berbeda dan memang berbeda, jadi kita mesti siap menjadi orang yang berbeda”. Ya, pernah di saat kegiatan OSIS atau Ekstrakurikuler lain mengadakan acara yang lingkupnya sekolah saja, anak-anak ROHIS yang notabene waktu itu terwarnai dengan Tarbiyah membuat sebuah gebrakan, Motivation Training untuk siswa SMA se-kabupaten dengan peserta 2000 orang. Sesuatu yang tidak biasa bagi siswa SMA, apalagi di kota kecil yang jauh dari ibu kota. Tidak sedikit yang mencibir, banyak pula yang menganggap remeh, tapi mereka tak pernah goyah. Itulah mereka selalu memikirkan gagasan besar yang berujung pada agenda yang luar biasa.

Ya, semangat yang tak pernah padam itu yang terlihat kawan-kawanku di Tarbiyah ini. Sering kali ide-ide besar muncul dari kelompok kecil halaqah, waktu itu aku dan kawan se-halaqah ingin mengadakan rihlah (tafakur alam) untuk kelompok kami namun seorang kawan mengusulkan agar menjadi rihlah ROHIS saja. Begitu ditawarkan ke kawan-kawan ROHIS yang lain justru mereka mengusulkan agar menjadi rihlah ROHIS se-kabupaten sekaligus mengaktivkan ROHIS di SMA yang lain. Akhirnya dengan panitia kurang lebih 20 orang rihlah ROHIS se-kabupaten terlaksana dengan peserta mencapai 200 orang, bahkan karena semangatnya ada panitia yang jatuh pingsan kelelahan.

Di Tarbiyah ini pula aku belajar tentang ukhuwah, ukhuwah itu sederhana ketika bertemu dengan temanmu maka ucapkanlah salam, ketika kau mempunyai makanan maka berbagilah, ketika temanmu sakit maka jenguklah ia, ketika temanmu ulang tahun sampaikanlah doa untuknya, ketika temanmu terjatuh maka ulurkanlah tanganmu, ketika temanmu khilaf maka nasehatilah ia, ketika temanmu berprestasi maka ikut bergembiralah, ketika temanmu dirundung duka maka tepuklah pundaknya dan pinjamkan bahumu untuk bersandar, ketika temanmu sedang kesulitan maka katakan “apa yang bisa saya bantu?”, ketika temanmu berbuat salah janganlah kau langsung menghakimi tetapi tabayun terlebih dahulu dan ingatkan ia, dan ketika kau sholat malam maka sebutlah nama mereka dalam untaian doa yang kau panjatkan. Ya, sesederhana itu ukhuwah yang ku pelajari di Tarbiyah, semua itu tidak membutuhkan harta yang melimpah, raga yang kuat, waktu yang luang, pikiran yang cerdas,..tetapi membutuhan hati yang ikhlas.

Di atas aku mengatakan menjadi Tarbiyah atau bukan itu adalah pilihan, oleh karenanya ada beberapa temanku yang memilih tidak menjadi bagian dari Tarbiyah. Ada yang menemukan tempat yang menurutnya lebih baik, ada juga yang tidak suka aturan yang berlaku di ‘kendaraan’ ini. Memang berada di Tarbiyah tidak selalu menyenangkan, lelah fisik dan fikiran itu hal yang biasa, kecewa dengan keputusan jamaah, atau kerja kerasnya sering kali tidak dihargai memang itu bisa saja terjadi karena jamaah ini adalah jamaah manusia yang pasti pernah salah dan lupa. Namun seperti apa yang pernah diutarakan oleh Sarwo Widodo


Apakah mereka yang selalu berbuat baik itu tak pernah "terluka"? ah kawan.. boleh jadi mereka lah yang paling banyak terluka di "jalan ini" bahkan mungkin hati mereka sudah tak utuh lagi.. tercabik dan terkoyak di sana-sini..lalu mengapa mereka terus menebar kebaikan..? karena yang mereka cintai adalah Allah… bukan dirinya sendiri.
Tarbiyah ini bagiku seperti rumah sederhana di kaki gunung dengan taman kecil dan pohon yang rindang di halamannya. Meski kecil tapi aku merasa nyaman, suasana yang sejuk membuatku betah tinggal di rumah ini. Tinggal di kaki gunung bukan tanpa rintangan, sering kali angin lembah turun menuruni bukit dan menerpa rumah ini, paginya daun-daun berserak mengotori halaman. Tapi daun yang berjatuhan itu bisa memunculkan rutinitas yang menyenangkan di pagi hari, yaitu menyapu halaman, ditemani udara yang sejuk dan pemandangan kota menyapu halaman bisa menjadi kegiatan yang asyik. Tinggal kita merawat dan mengokohkan bangunan rumah agar tetap kuat jika diterpa angin.

Sekali lagi itu adalah pilihan, ada yang merasa nyaman ada juga yang tidak. Namun bagiku “rumah” ini masih nyaman, apakah aku tidak akan pindah ke rumah yang lain?? Hmm…bisa jadi kalau ada rumah yang lebih nyaman, tapi sampai saat ini aku belum menemukan “rumah” yang lebih nyaman selain Tarbiyah.

Senin, 11 Maret 2013

Sebuah Cerita : CInta Monyet...#3 (L.A.P)


      Akhirnya pengumuman penerimaan siswa baru disampaikan juga termasuk kelas yang di tempati. Walaupun waktu SD aku selalu peringkat atas namun nilai UAN ku termasuk yang biasa – biasa saja dibandingkan dengan SD yang lain, bahkan dengan teman SD senidiri saja aku di lampaui, tapi tak masalah buatku. Meskipun begitu aku masih bisa masuk kelas unggulan di sekolah itu, yah sekolahku itu menerapkan sistem unggulan dan non unggulan. Tidak ada perbedaan yang signifikan hanya saja yang menempati kelas unggulan itu yang mempunyai peringkat tertinggi meskipun belum tentu yang nilainya tinggi saat masuk nilainya tinggi pula saat di ujian atau ulangan harian. Aku tahu betul itu, karena aku sendiri yang mengalami hal itu.

       Aku sempat senang karena di kelas itu aku tidak sendiri dari SD ku, ada beberapa teman yang masuk di kelas yang sama, tapi ternyata lia juga masuk di kelas yang sama. Aku sempat khawatir gossip dan ejekan saat SD kembali menyebar, namun aku berfikir ‘ah, ini kan kebanyakan teman baru dan teman SD ku cuma beberapa aja..ga bakalan ada yang taulah’. Sebenarnya agak kurang enak ada di kelas unggulan, kami tak pernah menang kalau bermain sepakbola padahal sepak bola itu permainan paling bergengsi di sekolahku. Tapi kalau urusan lomba yang lain, kelas kami boleh untuk dipertimbangkan.

     Aku senang di kelas ini, kami punya wali kelas yang sangat baik namanya Ibu Laily. Meskipun sudah tua tapi beliau sangat memperhatikan kami, kalau kami ada salah sedikit pasti langsung dinasehati. Cara menasehatinya  juga unik, beliau seolah – olah memperlakukan kami seperti anak TK, kadang lucu, kadang juga bikin sakit hati, tapi  itulah beliau semua anak di kelas menghormati beliau. Setelah beberapa lama aku cukup nyaman di kelas dan aku termasuk anak yang jarang ngobrol, main dengan teman perempuan. Saat cowok-cowok mulai mendekati cewek – cewek aku hanya duduk melihat aksi cowok – cowok menarik perhatian si cewek, tiba – tiba ada seorang cewek duduk di sebelahku

“Dan, kamu itu L.A.P ya?” Tanya temen cewek di sebelahku, namanya Tika.
“L.A.P? apaan tuh?”
“ Laki-laki Anti Perempuan…”
“ Eh?? Kok kamu nanya gitu?”
“ Iya soalnya kamu kaya jarang ngedeketin perempuan.. hahaha”

     Dalam hati aku merasa ‘panas’, ga mau dikatain L.A.P apalagi cewek yang ngomong. Akhirnya aku mulai ikut nimbrung dengan obrolan – obrolan cewek – cewek, ada beberapa cewek yang jadi primadona tapi aku ga tertarik buat ngedekitin dia. Ada seorang cewek  yang aku simpatik dengan dia, wajahnya ga cantik emang, manis juga ga terlalu, kulitnya juga ga putih, kalau orang jawa bilang kulitnya ‘Kuning Langsat’. Tetapi dia itu kalau orang jawa bilang ‘ayu’ – bukan nama orang lho - , agak susah mendeskripsikan ‘ayu’ seperti itu apa, hanya ‘ayu’ itu terasa enak jika dipandang ditambah dengan perilaku yang sopan. Cewek yang kukagumi itu namanya Ana.

     Suatu ketika SMPku pulang lebih awal karena guru – guru ada rapat mendesak, aku dan beberapa teman SDku langsung berencana mengunjungi SD ku dulu. Tak disangka ternyata teman – teman cewek semasa SD juga datang, termasuk Lia. Setelah bersalaman dengan guru – guru kami langsung menuju kantin, ngobrol – ngobrol dengan ibu kantin yang sering jadi langganan kami dulu dan tak lupa beli “jajanan”.  Saat jajan itulah ada teman yang menggodaku dengan Lia lagi, yang lain pun langsung ketawa. Karena di kelas ada orang yang kukagumi jadi aku santai – santai saja,

“Ah itu kan masa lalu, sekarang udah ada cewek yang aku suka” kataku,

     Pada waktu itu aku melihat Lia, dia terlihat ga ada ekspresinya. Padahal aku mengatakan itu hanya ingin tahu Lia cemburu atau tidak, meskipun ada cewek yang aku kagumi aku masih belum bisa melupakan Lia.


Jumat, 09 November 2012

Sebuah Cerita : Cinta Monyet...#2 (Tumbuh)


Waktu terus berlalu, tak terasa kini sudah beranjak kelas 5 SD. Aroma persaingan tetap ada antara aku dan Lia, dan sekarang selalu menguntit dibelakang kami Vita yang saat kelas 3 kemarin meraih ranking 2. Tak banyak yang berubah, kami masih berlomba-lomba dalam berprestasi. Namun entah kenapa, tidak tau kosakata darimana, muncul kata pacaran. Aku dan Lia sering “dipasang-pasangkan” hanya karena aku ranking 1 dan Lia ranking 2, kok bisa??bahkan pernah dipasangkan dengan Vita, apalagi ini?? Semenjak itu mulai tuh banyak teman – teman yang dipasang-pasangkan hanya karena kedekatan yang sebenarnya itu wajar buat anak – anak usia sekolah dasar. 

Mungkin hormon pertumbuhannya berkembang lebih cepat dan pengaruh televisi, anak usia kelas 5 sekolah dasar sudah mengerti pacaran. Bagaimana denganku?? Jujur aku sendiri tak begitu tahu apa maksud kata “pacar”, “pacaran”, “cinta” dll kata yang masih terdengar asing menurutku. Namun aku mulai merasakan ada perbedaan bergaul dengan teman laki-laki dan teman perempuan, kalau dulu kelas 1 sampai kelas 4 bermain bersama antara laki-laki dan perempuan biasa saja, tidak ada yang dirasa tabu, semuanya sama tidak memandang jenis kelamin. Tetapi menginjak kelas 5 SD ada perasaan aneh ketika bermain dengan anak perempuan, ada perasaan canggung, aneh, malu macam-macam deh rasanya. Mungkin salah satunya mulai menyadari ternyata kami berbeda jenis kelamin dan perilaku, yang laki-laki ingin kelihatan seperti jagoan yang perempuan ingin kelihatan cantik, dan aku menyadarinya seperti itu.

Saling megejek satu sama lain terus berlanjut hingga tingkat akhir sekolah dasar yaitu kelas 6 SD. Bicara tentang si A pacarnya si B lah, si X pacarnya si Y lah, bahkan sering kali di tulis di buku atau di meja si A love si B dan macam – macam tingkah polah anak-anak SD waktu itu. Termasuk aku juga tak luput dari godaan teman – teman sekelas terlebih lagi aku dan Lia memang sering bersaing dalam peringkat kelas, malah ada yang menjuluki kami “Raja da Ratu” aiihh muncul darimana pula kata – kata itu. Tak jarang tulisan “Dani pacarnya Lia”, “ Lia love Dani” dan semacamnya ada di meja, bangku, buku tulis, tembok kelas, setiap kami ada interaksi sedikit saja pasti kelas langsung ramai pada bersorak puas mengejek aku dan Lia. Tak tahu kenapa mereka sampai sebegitunya. Karena aku masih tak tahu apa-apa aku hanya megelak dan menegaskan aku tidak ada hubungan apa-apa seperti yang mereka ejek. 

Sepertinya ejekan teman – teman mempercepat laju hormon pertumbuhanku, semakin sering aku mengelak ejekan teman – teman dari penolakan – penolakan itu muncul rasa senang bila diganggu, senang bila “dipasang-pasangkan”, munculah perasaan malu dan berdebar-debar jika bertemu dengan Lia, dalam hati ku bertanya “Inikah yang namanya cinta?”, “inikah maksud dari kata yang selama ini teman-teman ejekan padaku?”. Namun makin  lama aku sudah terbiasa dan cuek terhadap ejekan itu walaupun sesekali ejekan kutanggapi.

Bagaimana dengan Lia? Sebenarnya aku kurang tahu bagaimana perasaannya saat itu, malukah?kesalkah?jengkelkah jika diejek seperti itu? Aku tak melihat ekspresi apa-apa jika ia diejek, atau mungkin dia menyembunyikan perubahan wajah, sikap, tutur kata saat “dipasangkan”. Akan tetapi pada hakikatnya perempuan itu lebih perasa bisa jadi yang dirasakan melebihi yang aku rasakan dan aku baru menyadarinya saat aku memasuki akhir kelas 1 SMP. 

Ujian Akhir Nasional untuk tingkat Sekolah Dasar sudah berakhir, teman – teman kelas heboh menanyakan satu sama lain ingin melanjutkan kemana. Ada yang ke SMP kecamatan, ada yang melanjutkan ke pondok pesantren, ada juga yang tidak melanjutkan sekolah. Bagaimana denganku?? Banyak yang mengharapkan aku melanjutkan sekolah di SMP kabupaten, SMP favorit yang ada di kotaku. Namun dengan pertimbangan tidak ada teman ditambah biaya yang mahal aku memilih sekolah yang ada di Kecamatan. Memang sebagian besar teman kelasku melanjutkan ke SMP Kecamatan selain dekat biayanya juga tidak terlalu mahal, masih terjangkau untuk keluarga petani dan guru. Bagaimana dengan Lia? Ia juga masuk sekolah di Kecamatan. Dalam hati aku ingin tahu kemana sainganku melanjutkan sekolah, namun jika aku tanya pasti suasana jadi ramai dan kami kembali menjadi bahan olokan anak-anak. Ada sebuah trik yang entah aku dapat dari mana, mungkin dari salah satu sinetron di televisi, 

“ Vit, kamu nglanjutin kemana?” tanyaku. “ke SMP Kecamatan Dan..” jawab vita

“Oh, sama siapa aja yang ngelanjutin kesana?” tanyaku lagi, sebenarnya ini pertanyaan basa basi. 

Yang aku ingin tahu Lia juga ngelanjutin ke sana juga apa tidak.

“banyak kok, ada Lia, Indah, Meli, Yanti dll” jawab vita lagi.
Tuh kan jika kita malu menanyakan pada seseorang secara langsung, tanyalah pada orang ketiga. Dari trik tadi aku bisa gali banyak hal. Termasuk kapan mau mendaftar, mau registrasi ulang, dan lain sebagainya.

 

Kamis, 25 Oktober 2012

Memaknai Hari Raya Idhul Qurban


“ Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.”
 (Q.S Ash Shaaffat : 107)

Saat kecil dulu, hari raya Idhul Adha merupakan hari yang menyenangkan karena pasti akan dapat daging dan makan enak. Namun itu dahulu, bagi mahasiswa perayaan Idhul Adha sudah bukan saatnya terlena dengan dapat daging dan makan enak apalagi hanya sebagai ritual keagamaan akan tetapi perlu memaknai lebih dalam akan hakikat Idhul Qurban itu sendiri.

Jika kita berbicara Idhul Qurban maka langsung terbesit dalam benak kita sebuah peristiwa bersejarah antara Ibrahim dan Ismail. Syariat berqurban yang dilakukan pada hari raya haji memang berdasarkan kisah nabi Ibrahim dan nabi Ismail. Allah pun mengabadikan peristiwa itu dalam Al Qur’an yakni Q.S Ash Shaaffat : 100 – 107, ada banyak hikmah yang dapat kita petik dari peristiwa ini. 

Ibrahim merupakan nabi yang sudah terbukti kesabarannya, bagaimana tidak? Ia terus bersabar hingga usia 80-an Ibrahim masih belum mempunyai putra, sampai – sampai ia berdoa kepada Allah “Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh”. Ibrahim merupakan nabi yang disebut sebagai kekasih Allah selain nabi Muhammad, sudah menjadi kehendak Allah jika kekasih-Nya meminta maka Dia akan mengabulkannya. “Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar”  itu adalah jawaban Allah atas doa yang dipanjatkan Ibrahim.

‘Anak yang amat sabar ’ itu diberi nama Ismail, tentu sebagai anak yang sudah lama dinantikan Ismail sangat dicintai oleh orang tuanya. Ismail tumbuh menjadi anak yang sholeh dan berbakti terhadap orang tuanya, kemudian Allah hendak menguji keduanya, Ibrahim dan Ismail. “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Sering kali kita mengambil hikmah bahwa yang diuji adalah nabi Ibrahim, namun ternyata bukan hanya Ibrahim tetapi juga Ismail pun diuji kesabarannya. Di sini kita bisa melihat kebijaksanaan Ibrahim, Ibrahim berimimpi ia menyembelih Ismail meskipun ia seorang nabi ia tidak mengatakan kepada Ismail bahwa itu adalah perintah Allah padahal salah satu cara Allah memberi petunjuk kepada nabi-Nya adalah melalui mimpi. Kemudian walaupun Ibrahim itu tahu bahwa mimpi itu datangnya dari Allah ia tidak serta merta melaksanakannya, ia justru menanyakan pendapat anaknya terlebih dahulu karena Ibrahim tahu Ismail termasuk dalam orang yang shaleh. Ini merupakan salah satu prinsip yang perlu dipegang dalam  berorganisasi, yakni sebelum memberikan suatu amanah ke orang lain maka mintalah pendapat orang itu tentang amanah yang akan diberikan.

Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. Sebagai anak yang sholeh, Ismail tahu kalau ayahnya seorang nabi dan ia paham betul kalau mimpi ayahnya itu datangnya dari Allah. Oleh karenanya ia mengatakan ‘kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu’ padahal sebelumnya Ibrahim tidak mengatakan bahwa mimpi itu adalah perintah Allah, inilah bukti kesholehan Ismail. Ismail meyakini mimpi itu dari Allah sehingga ia pun mengerti bahwa ini adalah suatu bentuk ujian, karena itu ia pun mantap mengatakan ‘insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar’. 

“Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu,”. Ujian yang begitu berat anak yang selama ini dirindukan dan ditunggu kehadirannya harus disembelih, butuh ketabahan yang luar biasa untuk bisa menyembelih anak yang sangat dicintainya. Namun, ternyata ketaatan dan kecintaan Ibrahim kepada Allah jauh lebih besar daripada kepada anaknya sehingga dengan tabah ia tetap melaksanakan perintah itu. Keikhlasan Ismail pun patut kita pelajari, ia mendukung perintah Allah kepada ayahnya tanpa sedikitpun usaha untuk menghalang – halangi. Ismail mencoba tidak menghalangi ayahnya untuk tetap melaksanakan perintah Tuhannya. Melihat keadaan ini Allah pun memberikan jawaban ‘sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu’, Ibrahim dan Ismail telah membenarkan bahwa mimpi itu sesungguhnya datang dari Allah. Allah kemudian memberitahukan bahwa ini memang sebuah ujian, “Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata”.

Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar”. Ibrahim dan Ismail telah menunjukan ketaatan dan kesabarannya, oleh karena itu Allah menghendaki untuk menebus Ismail dengan sesembelihan yang besar. Ini adalah balasan Allah atas ketaatan dan kesabaran Ibrahim dan Ismail. Akan tetapi pengorbanan perasaan Ibrahim dengan mendahulukan ketaatan kepada Allah tidak hanya dibalas Allah dengan hewan sembelihan saja, Allah mengabadikan untuk Ibrahim pujian yang baik yaitu "Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim". Tidak hanya sampai di situ Allah pun memberikan kabar gembira lainnya, yaitu kelahiran Ishaq, “Dan Kami beri dia kabar gembira dengan (kelahiran) Ishaq seorang nabi yang termasuk orang-orang yang saleh”.Kami limpahkan keberkatan atasnya dan atas Ishaq....”. Balasan Allah ini disebutkan dalam ayat – ayat berikutnya yaitu Q.S Ash Shaffat : 108 – 113.

Peristiwa ini mengajarkan kita tentang kesabaran, sabar dalam menjalankan perintah Allah. Sudah menjadi fitrah dalam menyampaikan kebajikan pasti penuh rintangan, jalannya panjang dan berliku sehingga jangan mudah berputus asa dalam menyampaikan kebaikan. Jika terus bersabar dalam melaksanakan perintah Allah, hingga sampai pada waktunya nanti Allah akan memberikan balasan-Nya seperti yang disebutkan dalam Q.S Ash Shaaffat : 110, “Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik”.

Kita juga bisa belajar tentang ketaatan dan kecintaan kepada Allah, Ibrahim sudah menunjukan itu. Walaupun ia sangat mencintai anaknya yang hadir melewati penantian yang panjang, Ibrahim tetap lebih cinta kepada Tuhannya. Bahkan secara eksplisit Allah menegaskan dalam surat At Taubah : 24, “Katakanlah: "jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik”. Ini merupakan peringatan untuk kita semua agar terhindar dari golongan orang – orang yang fasik.

Pelajaran lain peristiwa ini yakni tentang sedekah. Ibrahim telah merelakan anak yang paling dicintainya untuk disembelih, ini mengajarkan kita agar ketika bersedekah paling utama adalah memberikan yang terbaik dari apa yang kita miliki atau memberikan apa yang kita cintai. Namun jika kita menengok kembali peristiwa ini, ketika Ibrahim sudah merelakan anaknya hingga pisau itu siap memotong leher Ismail, Allah gantikan Ismail dengan sesembelihan yang besar. Setidaknya ada 4 balasan dari Allah ketika memberikan apa yang kita cintai.
1.       Allah akan menggantinya dengan sesuatu yang lebih besar, Allah sudah menjanjikan itu dalam surat Al Baqarah : 261 “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui”.
2.       Allah akan memberikan pujian yang baik
3.       Allah memberikan kabar gembira, dan
4.       Allah akan memberikan keberkahan atasnya.
      Sungguh Maha Besar Allah atas segala Kuasa-Nya, perayaan hari raya Idhul Adha hendaklah jangan dilewatkan begitu saja tanpa mengambil hikmah dari catatan sejarah yang mendasari syariat ibadah qurban ini. Berqurban merupakan momen yang tepat untuk berlatih membiasakan bersedekah serta menumbuhkan kepekaan dan kepedulian sosial kita terhadap masyarakat di sekeliling kita. Wallahu alam bishawab.

Selasa, 23 Oktober 2012

Sebuah Cerita : Cinta Monyet #1 (Ganjil)


Pagi ini tetap seperti biasanya, udara dingin seperti beberapa hari sebelumnya, jalanan becek mungkin karena setiap sore dan malam turun hujan, bunyi bel di kosan yang membangunkan seluruh penghuni pertanda waktu subuh sudah tiba. Suasana seperti ini tidak ada yang berubah, hanya saja ada sebuah perasaan ganjil ketika aku terbangun tadi. 

Hari ini adalah hari yang spesial, ini adalah hari pertama ujian tengah semester dan UTS ini juga UTS terakhirku di kampus ini, Amiinn.... Persiapan ujian dikampus beda dengan persiapan ujian anak kecil yang semua peralatan diperiksa mulai dari pensil, pulpen, catatan, tas, sepatu, pakaian, bekal dll. Bagi mahasiswa beberapa persiapan tadi juga dilakukan hanya satu hal yang membuat beda anatara anka kecil dan mahasiswa, anak kecil berangkat ujian masih membawa buku catatan sedangkan mahasiswa hanya membawa fotocopy slide, bukan catatan apalagi text book. 

Persiapan menjelang ujian mulai dari mandi hingga menyisir rambut sudah kulakukan, ku langkahkan kaki dengan mantap dan percaya diri, menyusuri jalan – jalan kecil menuju kampus, dan melewati anak –anak SMP yang berangkat sekolah. Ada yang berangkat beramai ramai seperti mau tawuran, ada yang sendirian tanpa teman ada pula yang berangkat berpasangan laki-perempuan, ah memang masa-masa SMP itu masa paling galau. Namun melihat pemandangan tadi jadi teringat dengan perasaan ganjilku tadi pagi, perasaan galau tentang cinta dan seseorang. Jujur meskipun itu memori yang cukup menyedihkan namun aku tidak pernah melupakan itu, kenapa? Karena masa lalu kita adalah kenangan, walaupun terkadang itu menyakitkan namun justru itu lah yang membuat kenangan kita lebih berwarna, ya setidaknya buatku itu lebih berwarna. Bahkan sering kali aku merasa lucu jika mengingat kenangan itu.

Namaku Dani, lahir di sebuah kampung kecil di kota yang berjuluk kota Adipura, walaupun sebenarnya termasuk daerah yang tertinggal tapi bagiku itu merupakan prestasi tersendiri bagi kotaku yang sejuk dan selalu ku rindukan ini. Aku lahir dari pasangan guru dan pedagang, ya bapakku adalah guru madarasah ibtidaiyah di kecamatan. Aku pernah ikut bapak pergi ke sekolah, kebetulan waktu itu aku merengek untuk ikut dan bolos tidak pergi sekolah. Awalnya bapak tidak memperbolehkan namun aku nekat dan langsung memeluk dan menempel di kaki bapak, entah karena kasihan atau malah kesal direpotin akhirnya bapak mengizinkan aku untuk ikut. Kami harus berjalan menanjak kurang lebih 20 menit agar sampai ke pinggir jalan dimana angkot sudah menunggu kami, naik angkot adalah pengalaman paling menyenangkan saat aku masih kecil. Posisi kesukaanku adalah di depan deket dengan jendela, tak perlu AC di angkot yang penting dapat angin cepoi-cepoi sudah senang. 15 menit sudah kami naik angkot, kukira sudah dekat karena di sekitar kami turun terdapat sekolah juga. 

“Pak, udah nyampe ya?” tanyaku, “belum, kita mesti jalan lagi. Sebentar lagi sampai kok” balas bapak.

Ternyata benar kami mesti menuruni jalan raya yang biasa digunakan untuk mengangkut batu kapur, debu berterbangan dimana-mana, walaupun mesti menutup mulut dan hidung kami tetap berjalan menuju sekolah bapak. Tak terasa 30 menit sudah kami berjalan akhirnya sampai juga, aku sangat kagum dengan ayahku karena untuk mengabdi sebagai guru yang gajinya tidak seberapa beliau harus menempuh perjalanan kurang lebih selama 1 jam, belum lagi perjalanan pulang ke rumah 1 jam pula. Yang membuatku lebih kagum lagi bapak sudah menjalani tugasnya sebagai guru disekolah ini selama 25 tahun tanpa bantuan kendaraan, hanya ada angkot itupun tidak sebanding dengan lama waktu yang mesti ditempuh dengan berjalan kaki.

Ibuku pedagang pakaian di pasar kecamatan sebelah, walaupun lebih jauh namun akses ke sana lebih mudah karena banyak angkot yang rutenya melalui pasar itu. Ibuku termasuk orang yang tahu bagaimana membahagiakan anaknya, setiap ibu pulang aku selalu dibawakan oleh-oleh, oleh –oleh yang sering kudapat dan paling kusukai itu jajanan snack ringan yang di dalamnya ada hadiah berupa mainan yang bentuk berbagai macam. Aku selalu mengumpulkan mainan dari hadiah itu, pernah iseng –iseng menghitung berapa mainan yang aku punya, mainanku hampir mencapai 100 buah hanya dari hadiah snack itu aku tak pernah berpikir bagaimana ibu membeli oleh-oleh itu yang kupikirkan dan kutanyakan setiap ibu pulang adalah “mana oleh-olehnya?”. Yah ibu selalu membawakan oleh-oleh dari pasar walaupun sebenarnya di pasar jualan bajunya tidak begitu laku bahkan pernah tidak ada pembeli sama sekali di hari itu. Pasar pakaian tempat ibu berjualan paling ramai saat menjelang lebaran dan menjelang masuk sekolah, di luar itu sepi pembeli bahkan tidak ada pembeli merupakan hal yang sering terjadi. Aku tidak bermaksud agar aku dikasihani tapi ini adalah kenyataan yang dirasakan oleh orang tuaku dan aku bangga kepada mereka, itu sekilas tentang latar belakang keluargaku, sebenarnya aku punya kakak perempuan, namanya Dina. Tapi lain kali akan kuceritakan tentang mbak Dina, sekarang balik lagi ke cerita awal.

Aku sekarang sudah kelas 3 SD, banyak murid yang ingin loncat setelah naik kelas 2 langsung ke kelas 4 saja. Hal yang tidak mungkin, tapi namanya juga anak – anak imajinasi mereka selalu di atas normal. Salah satu hal yang menyebabkan anak-anak berkeinginan seperti itu karena guru yang menjadi wali kelas saat itu terkenal killer alias sangat galak sehingga anak-anak menjadi takut. Setiap mengajar guru itu selalu membwa “gitik” semacam tongkat untuk menunjuk tulisan di papan tulis, jika ada murid yang tidak memperhatikan maka langsung dipukulah “gitik” itu ke papan tulis dan menimbulkan suara yang mengagetkan, kalau ada murid yang ditanya tapi tidak bisa menjawab dipukulkan lagi “gitik” itu ke meja anak itu, bagiku kelas 3 masa yang cukup mengerikan. Namun memori pertama yang ku ingat juga saat kelas 3, terutama saat pembagian rapor kenaikan kelas.

Dari sekian banyak peristiwa saat aku SD, entah kenapa hal ini yang pertama ku ingat. Saat SD aku termasuk bintang kelas, bukan untuk bermaksud sombong dari kelas 1 sampai kelas 3 aku selalu ranking 1 atau ranking 2. Aku selalu bersaing ketat setiap catur wulan dengan seorang temanku, seorang perempuan bernama Lia. Bila aku ranking 1, Lia pasti ranking 2 begitu sebaliknya. Hingga saat pembagian rapor catur wulan ketiga di kelas 3, ibuku mengambilkan raporku dan sama seperti pembagian rapor sebelum-sebelumnya murid-murid yang lain langsung menghampiri menanyakan berapa nilaiku dan rangking berapa, dengan pelan ibu menjawab “Dani ranking 1 nilainya 89” langsung teman-teman yang lain ikut mengerubungi ingin melihat nilaiku per mata pelajaran dan membandingkan dengan nilai mereka. Aku selalu senang saat - saat seperti ini seolah – olah teman – teman mengatakan “ wah, Dani hebat!!”, ibu lalu memberikan rapornya dan mengajakku pulang tapi aku enggan beranjak pulang, ada sesuatu hal yang mesti aku pastikan. Yah, aku ingin tau beerapa nilai sainganku, Lia. Berbeda dari sebelumnya yang mengambilkan rapor Lia kali ini adalah kakak perempuannya,mbak Santi namanya. Ketika mbak Santi keluar kelas, di luar sudah cukup sepi karena mbak Santi dapat nomor urut agak di akhir, dengan malu-malu aku bertanya, 

“mbak, Lia ranking berapa? nilainya berapa?” 

sebenarnya aku basa basi saja karena tebakanku Lia pasti ranking 2 hanya saja aku tak tahu berapa nilainya. Namun aku kaget mendengar jawaban mbak Santi, tak pernah kuduga sebelumnya.

“Selamat ya Dani, kamu ranking 1 lagi. Lia kali ini ranking 3 nilainya 85.”

to be continued...