Aku kenal
tarbiyah memang belum lama, awal ikut sebenarnya juga ga sengaja, ikut mabit (malam bina iman dan taqwa) terus
tau-tau dikelompokin dan diajak ada pertemuan rutin, akhirnya aku ikut terus
bahkan sampai lulus SMA aku pun lanjut di kampus. Beberapa tahun yang lalu aku
sadar ternyata pengelompokan seperti itu adalah ‘format nasional’ karena di
kampus pun formatnya sama seperti itu.
Meski
waktu itu marak isu terorisme yang pelakunya dulunya dianggap anak yang alim
‘aktivis masjid’ sehingga media mengingatkan untuk berhati-hati dengan gerakan
seperti itu apalagi sasarannya adalah kebanyakan pelajar, aku tak pernah
terbesit sedikit pun halaqah itu seperti yang diberitakan TV, justru aku merasa
senang ikut di kelompok halaqah itu (nama kerennya mentoring). Aku masih inget mentorku bilang yang ikut mentoring ini
bukan cuma orang biasa tapi pejabat banyak yang mentoring juga, maklum anak
kampung yang ga tau apa-apa diceritain seperti itu langsung takjub. Waktu itu
disebutin ketua MPR pak Hidayat Nur Wahid, Menpora pak Adhiyaksa Daud ternyata
ikut mentoring, dalam hati aku
berkata “beuh..keren juga nih”. Saat masuk kampus aku baru sadar kalau ini
adalah Jamaah Tarbiyah.
Di dalam
Tarbiyah ini juga aku bertemu dengan teman-teman luar biasa yang sering kali
membuatku rindu, rindu canda tawa mereka, bercengkrama selepas sekolah
mengandai-andai ide-ide besar yang ingin dilakukan, rindu merasakan kehujanan
saat menyebar proposal sponsor, rindu berdiskusi mengagendakan rihlah kelompok
halaqah namun berujung pada rihlah ROHIS se-kabupaten, rindu untuk berdebat
mengutarakan pendapat masing-masing dan rindu makan mie ayam setelah halaqah.
Di dalam
Tarbiyah kami merasakan betapa manisnya ukhuwah itu, mengajarkan untuk berpikir
besar, dan meluruskan niat semua amal hanya karena Allah. Seorang dosen pernah
memberikan nasehat ‘ Seandainya di akhirat nanti kamu di tanya amalan apa yang
kamu kerjakan secara kontinue? Maka selain menjawab amalan wajib dan sunnah
kamu juga bisa menjawab saya mengikuti kajian tarbawi setiap pekan’.
Namun
menjadi orang Tarbiyah atau bukan itu adalah pilihan. Karena tidak ada paksaan
dalam Islam. Jika sebuah jamaah ibarat kendaraan bila ingin pergi ke satu
tujuan kita berhak memilih kendaraan mana yang akan kita tumpangi apakah mobil,
motor, angkot, bus,pesawat atau yang lain, tergantung selera, kenyamanan,
keefisienan dll. Akan tetapi ketika sudah memilih satu kendaraan kita harus
menghormati aturan yang berlaku di dalam kendaraan tersebut, misal di Pesawat
handphone/alat elektronik harus dimatikan karena bisa mengganggu penerbangan
namun tidak halnya dengan di mobil, angkot, ataupun kereta. Memang ga bisa
dianalogikan semudah itu tapi itulah kira-kira gambarannya. Poin intinya adalah
ketika sudah memilih maka kita menghormati dan patuh pada aturan yang berlaku.
Di
Tarbiyah ini aku bertemu dengan manusia-manusia yang “berbeda” dari
kebanyakan orang. Kata mentorku dulu, “Mentoring itu membuat kita berbeda dan
memang berbeda, jadi kita mesti siap menjadi orang yang berbeda”. Ya,
pernah di saat kegiatan OSIS atau Ekstrakurikuler lain mengadakan acara yang
lingkupnya sekolah saja, anak-anak ROHIS yang notabene waktu itu terwarnai
dengan Tarbiyah membuat sebuah gebrakan, Motivation Training untuk siswa SMA
se-kabupaten dengan peserta 2000 orang. Sesuatu yang tidak biasa bagi siswa
SMA, apalagi di kota kecil yang jauh dari ibu kota. Tidak sedikit yang
mencibir, banyak pula yang menganggap remeh, tapi mereka tak pernah goyah.
Itulah mereka selalu memikirkan gagasan besar yang berujung pada agenda yang
luar biasa.
Ya,
semangat yang tak pernah padam itu yang terlihat kawan-kawanku di Tarbiyah ini.
Sering kali ide-ide besar muncul dari kelompok kecil halaqah, waktu itu aku dan
kawan se-halaqah ingin mengadakan rihlah (tafakur alam) untuk kelompok kami namun
seorang kawan mengusulkan agar menjadi rihlah ROHIS saja. Begitu ditawarkan ke
kawan-kawan ROHIS yang lain justru mereka mengusulkan agar menjadi rihlah ROHIS
se-kabupaten sekaligus mengaktivkan ROHIS di SMA yang lain. Akhirnya dengan
panitia kurang lebih 20 orang rihlah ROHIS se-kabupaten terlaksana dengan
peserta mencapai 200 orang, bahkan karena semangatnya ada panitia yang jatuh
pingsan kelelahan.
Di
Tarbiyah ini pula aku belajar tentang ukhuwah, ukhuwah itu sederhana ketika
bertemu dengan temanmu maka ucapkanlah salam, ketika kau mempunyai makanan maka
berbagilah, ketika temanmu sakit maka jenguklah ia, ketika temanmu ulang tahun
sampaikanlah doa untuknya, ketika temanmu terjatuh maka ulurkanlah tanganmu,
ketika temanmu khilaf maka nasehatilah ia, ketika temanmu berprestasi maka ikut
bergembiralah, ketika temanmu dirundung duka maka tepuklah pundaknya dan
pinjamkan bahumu untuk bersandar, ketika temanmu sedang kesulitan maka katakan
“apa yang bisa saya bantu?”, ketika temanmu berbuat salah janganlah kau
langsung menghakimi tetapi tabayun terlebih dahulu dan ingatkan ia, dan ketika
kau sholat malam maka sebutlah nama mereka dalam untaian doa yang kau
panjatkan. Ya, sesederhana itu ukhuwah yang ku pelajari di Tarbiyah, semua itu
tidak membutuhkan harta yang melimpah, raga yang kuat, waktu yang luang, pikiran
yang cerdas,..tetapi membutuhan hati yang ikhlas.
Di atas aku mengatakan menjadi
Tarbiyah atau bukan itu adalah pilihan, oleh karenanya ada beberapa temanku
yang memilih tidak menjadi bagian dari Tarbiyah. Ada yang menemukan tempat yang
menurutnya lebih baik, ada juga yang tidak suka aturan yang berlaku di
‘kendaraan’ ini. Memang berada di Tarbiyah tidak selalu menyenangkan, lelah
fisik dan fikiran itu hal yang biasa, kecewa dengan keputusan jamaah, atau
kerja kerasnya sering kali tidak dihargai memang itu bisa saja terjadi karena
jamaah ini adalah jamaah manusia yang pasti pernah salah dan lupa. Namun seperti
apa yang pernah diutarakan oleh Sarwo Widodo
“Apakah mereka yang selalu berbuat baik itu tak pernah "terluka"? ah kawan.. boleh jadi mereka lah yang paling banyak terluka di "jalan ini" bahkan mungkin hati mereka sudah tak utuh lagi.. tercabik dan terkoyak di sana-sini..lalu mengapa mereka terus menebar kebaikan..? karena yang mereka cintai adalah Allah… bukan dirinya sendiri.”
Tarbiyah
ini bagiku seperti rumah sederhana di kaki gunung dengan taman kecil dan pohon
yang rindang di halamannya. Meski kecil tapi aku merasa nyaman, suasana yang
sejuk membuatku betah tinggal di rumah ini. Tinggal di kaki gunung bukan tanpa
rintangan, sering kali angin lembah turun menuruni bukit dan menerpa rumah ini,
paginya daun-daun berserak mengotori halaman. Tapi daun yang berjatuhan itu
bisa memunculkan rutinitas yang menyenangkan di pagi hari, yaitu menyapu
halaman, ditemani udara yang sejuk dan pemandangan kota menyapu halaman bisa
menjadi kegiatan yang asyik. Tinggal kita merawat dan mengokohkan bangunan
rumah agar tetap kuat jika diterpa angin.
Sekali
lagi itu adalah pilihan, ada yang merasa nyaman ada juga yang tidak. Namun bagiku
“rumah” ini masih nyaman, apakah aku tidak akan pindah ke rumah yang lain??
Hmm…bisa jadi kalau ada rumah yang lebih nyaman, tapi sampai saat ini aku belum
menemukan “rumah” yang lebih nyaman selain Tarbiyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar