Jumat, 09 November 2012

Sebuah Cerita : Cinta Monyet...#2 (Tumbuh)


Waktu terus berlalu, tak terasa kini sudah beranjak kelas 5 SD. Aroma persaingan tetap ada antara aku dan Lia, dan sekarang selalu menguntit dibelakang kami Vita yang saat kelas 3 kemarin meraih ranking 2. Tak banyak yang berubah, kami masih berlomba-lomba dalam berprestasi. Namun entah kenapa, tidak tau kosakata darimana, muncul kata pacaran. Aku dan Lia sering “dipasang-pasangkan” hanya karena aku ranking 1 dan Lia ranking 2, kok bisa??bahkan pernah dipasangkan dengan Vita, apalagi ini?? Semenjak itu mulai tuh banyak teman – teman yang dipasang-pasangkan hanya karena kedekatan yang sebenarnya itu wajar buat anak – anak usia sekolah dasar. 

Mungkin hormon pertumbuhannya berkembang lebih cepat dan pengaruh televisi, anak usia kelas 5 sekolah dasar sudah mengerti pacaran. Bagaimana denganku?? Jujur aku sendiri tak begitu tahu apa maksud kata “pacar”, “pacaran”, “cinta” dll kata yang masih terdengar asing menurutku. Namun aku mulai merasakan ada perbedaan bergaul dengan teman laki-laki dan teman perempuan, kalau dulu kelas 1 sampai kelas 4 bermain bersama antara laki-laki dan perempuan biasa saja, tidak ada yang dirasa tabu, semuanya sama tidak memandang jenis kelamin. Tetapi menginjak kelas 5 SD ada perasaan aneh ketika bermain dengan anak perempuan, ada perasaan canggung, aneh, malu macam-macam deh rasanya. Mungkin salah satunya mulai menyadari ternyata kami berbeda jenis kelamin dan perilaku, yang laki-laki ingin kelihatan seperti jagoan yang perempuan ingin kelihatan cantik, dan aku menyadarinya seperti itu.

Saling megejek satu sama lain terus berlanjut hingga tingkat akhir sekolah dasar yaitu kelas 6 SD. Bicara tentang si A pacarnya si B lah, si X pacarnya si Y lah, bahkan sering kali di tulis di buku atau di meja si A love si B dan macam – macam tingkah polah anak-anak SD waktu itu. Termasuk aku juga tak luput dari godaan teman – teman sekelas terlebih lagi aku dan Lia memang sering bersaing dalam peringkat kelas, malah ada yang menjuluki kami “Raja da Ratu” aiihh muncul darimana pula kata – kata itu. Tak jarang tulisan “Dani pacarnya Lia”, “ Lia love Dani” dan semacamnya ada di meja, bangku, buku tulis, tembok kelas, setiap kami ada interaksi sedikit saja pasti kelas langsung ramai pada bersorak puas mengejek aku dan Lia. Tak tahu kenapa mereka sampai sebegitunya. Karena aku masih tak tahu apa-apa aku hanya megelak dan menegaskan aku tidak ada hubungan apa-apa seperti yang mereka ejek. 

Sepertinya ejekan teman – teman mempercepat laju hormon pertumbuhanku, semakin sering aku mengelak ejekan teman – teman dari penolakan – penolakan itu muncul rasa senang bila diganggu, senang bila “dipasang-pasangkan”, munculah perasaan malu dan berdebar-debar jika bertemu dengan Lia, dalam hati ku bertanya “Inikah yang namanya cinta?”, “inikah maksud dari kata yang selama ini teman-teman ejekan padaku?”. Namun makin  lama aku sudah terbiasa dan cuek terhadap ejekan itu walaupun sesekali ejekan kutanggapi.

Bagaimana dengan Lia? Sebenarnya aku kurang tahu bagaimana perasaannya saat itu, malukah?kesalkah?jengkelkah jika diejek seperti itu? Aku tak melihat ekspresi apa-apa jika ia diejek, atau mungkin dia menyembunyikan perubahan wajah, sikap, tutur kata saat “dipasangkan”. Akan tetapi pada hakikatnya perempuan itu lebih perasa bisa jadi yang dirasakan melebihi yang aku rasakan dan aku baru menyadarinya saat aku memasuki akhir kelas 1 SMP. 

Ujian Akhir Nasional untuk tingkat Sekolah Dasar sudah berakhir, teman – teman kelas heboh menanyakan satu sama lain ingin melanjutkan kemana. Ada yang ke SMP kecamatan, ada yang melanjutkan ke pondok pesantren, ada juga yang tidak melanjutkan sekolah. Bagaimana denganku?? Banyak yang mengharapkan aku melanjutkan sekolah di SMP kabupaten, SMP favorit yang ada di kotaku. Namun dengan pertimbangan tidak ada teman ditambah biaya yang mahal aku memilih sekolah yang ada di Kecamatan. Memang sebagian besar teman kelasku melanjutkan ke SMP Kecamatan selain dekat biayanya juga tidak terlalu mahal, masih terjangkau untuk keluarga petani dan guru. Bagaimana dengan Lia? Ia juga masuk sekolah di Kecamatan. Dalam hati aku ingin tahu kemana sainganku melanjutkan sekolah, namun jika aku tanya pasti suasana jadi ramai dan kami kembali menjadi bahan olokan anak-anak. Ada sebuah trik yang entah aku dapat dari mana, mungkin dari salah satu sinetron di televisi, 

“ Vit, kamu nglanjutin kemana?” tanyaku. “ke SMP Kecamatan Dan..” jawab vita

“Oh, sama siapa aja yang ngelanjutin kesana?” tanyaku lagi, sebenarnya ini pertanyaan basa basi. 

Yang aku ingin tahu Lia juga ngelanjutin ke sana juga apa tidak.

“banyak kok, ada Lia, Indah, Meli, Yanti dll” jawab vita lagi.
Tuh kan jika kita malu menanyakan pada seseorang secara langsung, tanyalah pada orang ketiga. Dari trik tadi aku bisa gali banyak hal. Termasuk kapan mau mendaftar, mau registrasi ulang, dan lain sebagainya.

 

Kamis, 25 Oktober 2012

Memaknai Hari Raya Idhul Qurban


“ Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.”
 (Q.S Ash Shaaffat : 107)

Saat kecil dulu, hari raya Idhul Adha merupakan hari yang menyenangkan karena pasti akan dapat daging dan makan enak. Namun itu dahulu, bagi mahasiswa perayaan Idhul Adha sudah bukan saatnya terlena dengan dapat daging dan makan enak apalagi hanya sebagai ritual keagamaan akan tetapi perlu memaknai lebih dalam akan hakikat Idhul Qurban itu sendiri.

Jika kita berbicara Idhul Qurban maka langsung terbesit dalam benak kita sebuah peristiwa bersejarah antara Ibrahim dan Ismail. Syariat berqurban yang dilakukan pada hari raya haji memang berdasarkan kisah nabi Ibrahim dan nabi Ismail. Allah pun mengabadikan peristiwa itu dalam Al Qur’an yakni Q.S Ash Shaaffat : 100 – 107, ada banyak hikmah yang dapat kita petik dari peristiwa ini. 

Ibrahim merupakan nabi yang sudah terbukti kesabarannya, bagaimana tidak? Ia terus bersabar hingga usia 80-an Ibrahim masih belum mempunyai putra, sampai – sampai ia berdoa kepada Allah “Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh”. Ibrahim merupakan nabi yang disebut sebagai kekasih Allah selain nabi Muhammad, sudah menjadi kehendak Allah jika kekasih-Nya meminta maka Dia akan mengabulkannya. “Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar”  itu adalah jawaban Allah atas doa yang dipanjatkan Ibrahim.

‘Anak yang amat sabar ’ itu diberi nama Ismail, tentu sebagai anak yang sudah lama dinantikan Ismail sangat dicintai oleh orang tuanya. Ismail tumbuh menjadi anak yang sholeh dan berbakti terhadap orang tuanya, kemudian Allah hendak menguji keduanya, Ibrahim dan Ismail. “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Sering kali kita mengambil hikmah bahwa yang diuji adalah nabi Ibrahim, namun ternyata bukan hanya Ibrahim tetapi juga Ismail pun diuji kesabarannya. Di sini kita bisa melihat kebijaksanaan Ibrahim, Ibrahim berimimpi ia menyembelih Ismail meskipun ia seorang nabi ia tidak mengatakan kepada Ismail bahwa itu adalah perintah Allah padahal salah satu cara Allah memberi petunjuk kepada nabi-Nya adalah melalui mimpi. Kemudian walaupun Ibrahim itu tahu bahwa mimpi itu datangnya dari Allah ia tidak serta merta melaksanakannya, ia justru menanyakan pendapat anaknya terlebih dahulu karena Ibrahim tahu Ismail termasuk dalam orang yang shaleh. Ini merupakan salah satu prinsip yang perlu dipegang dalam  berorganisasi, yakni sebelum memberikan suatu amanah ke orang lain maka mintalah pendapat orang itu tentang amanah yang akan diberikan.

Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. Sebagai anak yang sholeh, Ismail tahu kalau ayahnya seorang nabi dan ia paham betul kalau mimpi ayahnya itu datangnya dari Allah. Oleh karenanya ia mengatakan ‘kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu’ padahal sebelumnya Ibrahim tidak mengatakan bahwa mimpi itu adalah perintah Allah, inilah bukti kesholehan Ismail. Ismail meyakini mimpi itu dari Allah sehingga ia pun mengerti bahwa ini adalah suatu bentuk ujian, karena itu ia pun mantap mengatakan ‘insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar’. 

“Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu,”. Ujian yang begitu berat anak yang selama ini dirindukan dan ditunggu kehadirannya harus disembelih, butuh ketabahan yang luar biasa untuk bisa menyembelih anak yang sangat dicintainya. Namun, ternyata ketaatan dan kecintaan Ibrahim kepada Allah jauh lebih besar daripada kepada anaknya sehingga dengan tabah ia tetap melaksanakan perintah itu. Keikhlasan Ismail pun patut kita pelajari, ia mendukung perintah Allah kepada ayahnya tanpa sedikitpun usaha untuk menghalang – halangi. Ismail mencoba tidak menghalangi ayahnya untuk tetap melaksanakan perintah Tuhannya. Melihat keadaan ini Allah pun memberikan jawaban ‘sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu’, Ibrahim dan Ismail telah membenarkan bahwa mimpi itu sesungguhnya datang dari Allah. Allah kemudian memberitahukan bahwa ini memang sebuah ujian, “Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata”.

Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar”. Ibrahim dan Ismail telah menunjukan ketaatan dan kesabarannya, oleh karena itu Allah menghendaki untuk menebus Ismail dengan sesembelihan yang besar. Ini adalah balasan Allah atas ketaatan dan kesabaran Ibrahim dan Ismail. Akan tetapi pengorbanan perasaan Ibrahim dengan mendahulukan ketaatan kepada Allah tidak hanya dibalas Allah dengan hewan sembelihan saja, Allah mengabadikan untuk Ibrahim pujian yang baik yaitu "Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim". Tidak hanya sampai di situ Allah pun memberikan kabar gembira lainnya, yaitu kelahiran Ishaq, “Dan Kami beri dia kabar gembira dengan (kelahiran) Ishaq seorang nabi yang termasuk orang-orang yang saleh”.Kami limpahkan keberkatan atasnya dan atas Ishaq....”. Balasan Allah ini disebutkan dalam ayat – ayat berikutnya yaitu Q.S Ash Shaffat : 108 – 113.

Peristiwa ini mengajarkan kita tentang kesabaran, sabar dalam menjalankan perintah Allah. Sudah menjadi fitrah dalam menyampaikan kebajikan pasti penuh rintangan, jalannya panjang dan berliku sehingga jangan mudah berputus asa dalam menyampaikan kebaikan. Jika terus bersabar dalam melaksanakan perintah Allah, hingga sampai pada waktunya nanti Allah akan memberikan balasan-Nya seperti yang disebutkan dalam Q.S Ash Shaaffat : 110, “Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik”.

Kita juga bisa belajar tentang ketaatan dan kecintaan kepada Allah, Ibrahim sudah menunjukan itu. Walaupun ia sangat mencintai anaknya yang hadir melewati penantian yang panjang, Ibrahim tetap lebih cinta kepada Tuhannya. Bahkan secara eksplisit Allah menegaskan dalam surat At Taubah : 24, “Katakanlah: "jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik”. Ini merupakan peringatan untuk kita semua agar terhindar dari golongan orang – orang yang fasik.

Pelajaran lain peristiwa ini yakni tentang sedekah. Ibrahim telah merelakan anak yang paling dicintainya untuk disembelih, ini mengajarkan kita agar ketika bersedekah paling utama adalah memberikan yang terbaik dari apa yang kita miliki atau memberikan apa yang kita cintai. Namun jika kita menengok kembali peristiwa ini, ketika Ibrahim sudah merelakan anaknya hingga pisau itu siap memotong leher Ismail, Allah gantikan Ismail dengan sesembelihan yang besar. Setidaknya ada 4 balasan dari Allah ketika memberikan apa yang kita cintai.
1.       Allah akan menggantinya dengan sesuatu yang lebih besar, Allah sudah menjanjikan itu dalam surat Al Baqarah : 261 “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui”.
2.       Allah akan memberikan pujian yang baik
3.       Allah memberikan kabar gembira, dan
4.       Allah akan memberikan keberkahan atasnya.
      Sungguh Maha Besar Allah atas segala Kuasa-Nya, perayaan hari raya Idhul Adha hendaklah jangan dilewatkan begitu saja tanpa mengambil hikmah dari catatan sejarah yang mendasari syariat ibadah qurban ini. Berqurban merupakan momen yang tepat untuk berlatih membiasakan bersedekah serta menumbuhkan kepekaan dan kepedulian sosial kita terhadap masyarakat di sekeliling kita. Wallahu alam bishawab.

Selasa, 23 Oktober 2012

Sebuah Cerita : Cinta Monyet #1 (Ganjil)


Pagi ini tetap seperti biasanya, udara dingin seperti beberapa hari sebelumnya, jalanan becek mungkin karena setiap sore dan malam turun hujan, bunyi bel di kosan yang membangunkan seluruh penghuni pertanda waktu subuh sudah tiba. Suasana seperti ini tidak ada yang berubah, hanya saja ada sebuah perasaan ganjil ketika aku terbangun tadi. 

Hari ini adalah hari yang spesial, ini adalah hari pertama ujian tengah semester dan UTS ini juga UTS terakhirku di kampus ini, Amiinn.... Persiapan ujian dikampus beda dengan persiapan ujian anak kecil yang semua peralatan diperiksa mulai dari pensil, pulpen, catatan, tas, sepatu, pakaian, bekal dll. Bagi mahasiswa beberapa persiapan tadi juga dilakukan hanya satu hal yang membuat beda anatara anka kecil dan mahasiswa, anak kecil berangkat ujian masih membawa buku catatan sedangkan mahasiswa hanya membawa fotocopy slide, bukan catatan apalagi text book. 

Persiapan menjelang ujian mulai dari mandi hingga menyisir rambut sudah kulakukan, ku langkahkan kaki dengan mantap dan percaya diri, menyusuri jalan – jalan kecil menuju kampus, dan melewati anak –anak SMP yang berangkat sekolah. Ada yang berangkat beramai ramai seperti mau tawuran, ada yang sendirian tanpa teman ada pula yang berangkat berpasangan laki-perempuan, ah memang masa-masa SMP itu masa paling galau. Namun melihat pemandangan tadi jadi teringat dengan perasaan ganjilku tadi pagi, perasaan galau tentang cinta dan seseorang. Jujur meskipun itu memori yang cukup menyedihkan namun aku tidak pernah melupakan itu, kenapa? Karena masa lalu kita adalah kenangan, walaupun terkadang itu menyakitkan namun justru itu lah yang membuat kenangan kita lebih berwarna, ya setidaknya buatku itu lebih berwarna. Bahkan sering kali aku merasa lucu jika mengingat kenangan itu.

Namaku Dani, lahir di sebuah kampung kecil di kota yang berjuluk kota Adipura, walaupun sebenarnya termasuk daerah yang tertinggal tapi bagiku itu merupakan prestasi tersendiri bagi kotaku yang sejuk dan selalu ku rindukan ini. Aku lahir dari pasangan guru dan pedagang, ya bapakku adalah guru madarasah ibtidaiyah di kecamatan. Aku pernah ikut bapak pergi ke sekolah, kebetulan waktu itu aku merengek untuk ikut dan bolos tidak pergi sekolah. Awalnya bapak tidak memperbolehkan namun aku nekat dan langsung memeluk dan menempel di kaki bapak, entah karena kasihan atau malah kesal direpotin akhirnya bapak mengizinkan aku untuk ikut. Kami harus berjalan menanjak kurang lebih 20 menit agar sampai ke pinggir jalan dimana angkot sudah menunggu kami, naik angkot adalah pengalaman paling menyenangkan saat aku masih kecil. Posisi kesukaanku adalah di depan deket dengan jendela, tak perlu AC di angkot yang penting dapat angin cepoi-cepoi sudah senang. 15 menit sudah kami naik angkot, kukira sudah dekat karena di sekitar kami turun terdapat sekolah juga. 

“Pak, udah nyampe ya?” tanyaku, “belum, kita mesti jalan lagi. Sebentar lagi sampai kok” balas bapak.

Ternyata benar kami mesti menuruni jalan raya yang biasa digunakan untuk mengangkut batu kapur, debu berterbangan dimana-mana, walaupun mesti menutup mulut dan hidung kami tetap berjalan menuju sekolah bapak. Tak terasa 30 menit sudah kami berjalan akhirnya sampai juga, aku sangat kagum dengan ayahku karena untuk mengabdi sebagai guru yang gajinya tidak seberapa beliau harus menempuh perjalanan kurang lebih selama 1 jam, belum lagi perjalanan pulang ke rumah 1 jam pula. Yang membuatku lebih kagum lagi bapak sudah menjalani tugasnya sebagai guru disekolah ini selama 25 tahun tanpa bantuan kendaraan, hanya ada angkot itupun tidak sebanding dengan lama waktu yang mesti ditempuh dengan berjalan kaki.

Ibuku pedagang pakaian di pasar kecamatan sebelah, walaupun lebih jauh namun akses ke sana lebih mudah karena banyak angkot yang rutenya melalui pasar itu. Ibuku termasuk orang yang tahu bagaimana membahagiakan anaknya, setiap ibu pulang aku selalu dibawakan oleh-oleh, oleh –oleh yang sering kudapat dan paling kusukai itu jajanan snack ringan yang di dalamnya ada hadiah berupa mainan yang bentuk berbagai macam. Aku selalu mengumpulkan mainan dari hadiah itu, pernah iseng –iseng menghitung berapa mainan yang aku punya, mainanku hampir mencapai 100 buah hanya dari hadiah snack itu aku tak pernah berpikir bagaimana ibu membeli oleh-oleh itu yang kupikirkan dan kutanyakan setiap ibu pulang adalah “mana oleh-olehnya?”. Yah ibu selalu membawakan oleh-oleh dari pasar walaupun sebenarnya di pasar jualan bajunya tidak begitu laku bahkan pernah tidak ada pembeli sama sekali di hari itu. Pasar pakaian tempat ibu berjualan paling ramai saat menjelang lebaran dan menjelang masuk sekolah, di luar itu sepi pembeli bahkan tidak ada pembeli merupakan hal yang sering terjadi. Aku tidak bermaksud agar aku dikasihani tapi ini adalah kenyataan yang dirasakan oleh orang tuaku dan aku bangga kepada mereka, itu sekilas tentang latar belakang keluargaku, sebenarnya aku punya kakak perempuan, namanya Dina. Tapi lain kali akan kuceritakan tentang mbak Dina, sekarang balik lagi ke cerita awal.

Aku sekarang sudah kelas 3 SD, banyak murid yang ingin loncat setelah naik kelas 2 langsung ke kelas 4 saja. Hal yang tidak mungkin, tapi namanya juga anak – anak imajinasi mereka selalu di atas normal. Salah satu hal yang menyebabkan anak-anak berkeinginan seperti itu karena guru yang menjadi wali kelas saat itu terkenal killer alias sangat galak sehingga anak-anak menjadi takut. Setiap mengajar guru itu selalu membwa “gitik” semacam tongkat untuk menunjuk tulisan di papan tulis, jika ada murid yang tidak memperhatikan maka langsung dipukulah “gitik” itu ke papan tulis dan menimbulkan suara yang mengagetkan, kalau ada murid yang ditanya tapi tidak bisa menjawab dipukulkan lagi “gitik” itu ke meja anak itu, bagiku kelas 3 masa yang cukup mengerikan. Namun memori pertama yang ku ingat juga saat kelas 3, terutama saat pembagian rapor kenaikan kelas.

Dari sekian banyak peristiwa saat aku SD, entah kenapa hal ini yang pertama ku ingat. Saat SD aku termasuk bintang kelas, bukan untuk bermaksud sombong dari kelas 1 sampai kelas 3 aku selalu ranking 1 atau ranking 2. Aku selalu bersaing ketat setiap catur wulan dengan seorang temanku, seorang perempuan bernama Lia. Bila aku ranking 1, Lia pasti ranking 2 begitu sebaliknya. Hingga saat pembagian rapor catur wulan ketiga di kelas 3, ibuku mengambilkan raporku dan sama seperti pembagian rapor sebelum-sebelumnya murid-murid yang lain langsung menghampiri menanyakan berapa nilaiku dan rangking berapa, dengan pelan ibu menjawab “Dani ranking 1 nilainya 89” langsung teman-teman yang lain ikut mengerubungi ingin melihat nilaiku per mata pelajaran dan membandingkan dengan nilai mereka. Aku selalu senang saat - saat seperti ini seolah – olah teman – teman mengatakan “ wah, Dani hebat!!”, ibu lalu memberikan rapornya dan mengajakku pulang tapi aku enggan beranjak pulang, ada sesuatu hal yang mesti aku pastikan. Yah, aku ingin tau beerapa nilai sainganku, Lia. Berbeda dari sebelumnya yang mengambilkan rapor Lia kali ini adalah kakak perempuannya,mbak Santi namanya. Ketika mbak Santi keluar kelas, di luar sudah cukup sepi karena mbak Santi dapat nomor urut agak di akhir, dengan malu-malu aku bertanya, 

“mbak, Lia ranking berapa? nilainya berapa?” 

sebenarnya aku basa basi saja karena tebakanku Lia pasti ranking 2 hanya saja aku tak tahu berapa nilainya. Namun aku kaget mendengar jawaban mbak Santi, tak pernah kuduga sebelumnya.

“Selamat ya Dani, kamu ranking 1 lagi. Lia kali ini ranking 3 nilainya 85.”

to be continued...

Penggembala, Teladan Rasul dalam Membentuk Karakter Kepemimpinan


 “di tempat terbuka ini, kehidupan memberikan kau kejernihan pikiran, ketajaman penglihatan, perasaan yang murni dengan tanpa hambatan.” (Umar bin Khattab)

Salah satu tujuan Allah menciptakan manusia adalah untuk menjadi pemimpin di muka bumi, dalam Firman-NYA Allah menyebutkan “Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah – khlaifah di muka bumi...” (Q.S 35:39) sehingga sudah menjadi suatu fitrah dalam suatu kelompok, komunitas maupun institusi pastilah ada pemimpinnya, baik itu pemimpin formal maupun non formal. Bahkan dalam kelompok kecil sekalipun keberadaan pemimpin sangat dibutuhkan seperti yang dipesankan oleh nabi Muhammad “jika kalian bepergian maka angkatlah salah seorang diantara kalian menjadi pemimpin.”(Al Hadits)

Keberadaan sosok pemimpin merupakan peran vital dalam sebuah komunitas, dialah yang mengarahkan dinamisasi kelompok, menyelesaikan perkara yang terjadi diantara anggotanya, bertanggung jawab atas komunitasnya serta bisa juga merupakan simbol dari suatu komunitas. Tanpa adanya pemimpin, komunitas itu akan stagnan tidak ada pergerakan yang dinamis. Efeknya keberadaan komunitas itu pasti tidak akan bertahan lama. Contoh kecil dalam adegan peperangan yang sering kita tonton di televisi, jika salah satu pemimpin diantara dua kubu mati maka perang pun berakhir, pasukan yang kehilangan pemimpin ditawan dan daerahnya dikuasai. Eksistensi mereka sebagai pasukan sudah tidak ada lagi.

Sosok pemimpin ideal selalu menjadi topik yang hangat ketika ada suatu pemilihan baik itu tingkat desa, daerah, provinsi hingga tingkat nasional. Kata pemimpin ideal muncul karena dari berbagai pengalaman tidak semua pemimpin itu mampu menjalankan fungsinya dengan baik, bahkan keberadaan pemimpin justru menyengsarakan anggotanya. Banyak pemimpin yang ketika dia memimpin justru tidak dipercaya oleh masyrakatnya sehingga muncul-lah pergolakan dari arus bawah yang menginginkan pemimpin itu mundur. Berita terhangat saat ini yakni pergolakan Suriah, pergolakan yang cukup menyedot perhatian dunia. Pemerintah Suriah bertindak otoriter terhadap warga yang membangkang, bahkan perdana menteri Turki mengatakan Suriah telah berubah menjadi negara teroris yang melakukan pembantaian massal terhadap rakyatnya sendiri. Namun jauh sebelum pergolakan Suriah, ada beberapa pemimpin yang berhasil “diturunkan” oleh rakyatnya diantaranya Presiden Indonesia Soeharto pada tahun 1998, Zainal Abidin bin Ali atau biasa disebut Ben Ali presiden Tunisia pada tahun 2011 , Muamar Khadafi presiden Mesir pun pada tahun 2011

Jika kita berbicara sosok pemimpin ideal maka sudah sepatutnya kita menjurus ke satu nama yaitu Muhammad SAW. “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu...” (Q.S 33: 21), Allah sudah menjamin bahwa dalam diri Rasulullah terdapat keteladanan termasuk jika kita berbicara pemimpin dan kepemimpinan. Banyak sekali kisah yang menceritakan tentang bagaimana kepeimpinan Rasulullah baik dalam berkeluarga, bermasyarakat, bernegara hingga kepemimpinan dalam berperang. Oleh karena itu sekarang ini berkembang kepemimpinan profetik, kepemimpinan ala nabi. Kepemimpinan yang lebih banyak mengambil hikmah dari al qur’an dan memadukannya dengan menggali lebih dalam makna kepemimpinan para nabi, terutama nabi Muhammad.

Kepemimpinan nabi Muhammad bukan serta merta langsung Allah berikan kepada beliau, namun Allah memberikan kepemimpinan itu melalui proses yang luar biasa. Salah satu metode pengajaran agar Muhammad SAW menjadi pemimpin yang tangguh adalah dengan menjadikan beliau sebagai penggembala di usia belia. Menjadi penggembala merupakan amanah yang besar, mesti menjaga hewan peliharaan dengan baik, memberi makan, menggiring ke padang rumput dan kembali ke kandang, memastikan jumlah yang keluar dan yang kembali ke kandang sama, ini bukan pekerjaan yang mudah. Butuh kepekaan perasaan agar seseorang mampu menggiring hewan, butuh kemampuan untuk memahami karakter masing – masing hewan hingga pada titik tertentu akan mengerti apa yang mesti dilakukan jika hewan peliharaan itu memberikan isyarat. Menjadi penggembala, proses inilah yang membentuk Muhammad SAW sebagai pemimpin jika terhadap hewan peliharaan beliau mampu menjaga dan memeliharanya dengan baik apalagi terhadap manusia yang sudah dibekali Allah akal untuk berpikir.

Seperti itulah cara Allah membekali karakter pemimpin dalam diri Rasulullah, hasilnya tak bisa diragukan lagi. Proses menjadi penggembala juga dialami oleh beberapa sahabat Rasul, salah satunya Umar bin Khattab. Sebuah dialog dalam film Omar, ketika Umar sedang bercakap dengan saudaranya di padang gembalaan,
 di tempat terbuka ini, kehidupan memberikan kau kejernihan pikiran, ketajaman penglihatan, perasaan yang murni dengan tanpa hambatan. Dan untuk unta, ketika kau memperlakukan mereka seperti yang aku lakukan, kau akan menyadari bahwa mereka membutuhkan pengurusan yang layak, kau akan bisa mengenal mereka secara individual. Tiap - tiapnya memiliki perangai, kebiasaan, kebutuhan, dan kemampuannya sendiri. Tiap berkumpul pada kawanannya, tapi tidak ada 2 unta yang identik. Ketika kau menyadari penuh akan hal ini, kau mengurus mereka sebagai kawanan, tetapi kau melihat mereka sebagai individu. Kau akan baik kepada mereka sebagaimana ibu baik kepada anak-anaknya. Dimana ini berlaku untuk unta, inipun lebih berlaku lagi kepada manusia. Hidup mereka tak akan berkembang sampai mereka punya pemimpin yang mengurus urusan mereka.
Kalimat itulah yang terlontar dari mulut Umar ibnu Khattab ketika menggembala unta – unta Khattab. Tak disangka beberapa puluh tahun kemudian seorang penggembala seperti Umar menjadi pemimpin kaum muslimin (Amirul Mukminin). Ini merupakan bukti bahwa para pemimpin terdahulu selalu belajar dari pengalaman dan kearifan lokal, hal yang sama pun bisa dilakukan oleh pemimpin saat ini, tidak harus menjadi penggembala terlebih dahulu akan tetapi meneladani bagaimana ia mau belajar dan mampu mengambil hikmah dari setiap peristiwa kemudian mengaplikasikan dalam karakter kepemimpinannya. 

Pemimpin itu tidak dilahirkan tapi diciptakan, kepemimpinan itu tidak diwariskan namun ia dibentuk melalui proses yang tidak sebentar. Pemimpin yang bijak adalah pemimpin yang menyadari akan peran dan fungsinya sebagai khalifah (wakil Allah) di muka Bumi serta menyadari bahwa posisi yang ia dapatkan semata-mata rahmat dari Allah, bukan karena usaha dan kerja kerasnya. Oleh karena itu tanggung jawab yang ia emban bukan hanya kepada orang – orang yang dipimpinnya akan tetapi juga kepada Allah sebagai pemberi kuasa terhadap dirinya, seperti sabda nabi Setiap kita adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawaban atas orang-orang yang dipimpinnya di Hari Kiamat kelak (Al Hadits)