Bulan kemarin, kabut asap menjadi topik yang hangat diberitakan oleh media. Kabut
asap ini terjadi kurang lebih sudah terjadi selama 2 bulan dengan daerah yang
paling parah adalah provinsi Riau. Riau menjadi daerah yang paling parah karena
sebagian besar titik api penyebab asap berada di wilayah Riau. Asap yang muncul
bukanlah tanpa sebab, ini terjadi karena adanya pembukaan lahan dengan cara dibakar.
Berdasarkan hasil monitoring satelit NOAA 18, titik api yang terdeteksi
mencapai 145 titik.
Karakteristik
lahan di Riau merupakan lahan gambut. Lahan gambut merupakan jenis tanah yang
terbentuk dari sisa-sisa tumbuhan yang setengah membusuk sehingga memiliki
kandungan bahan organik yang tinggi. Kebakaran pada lahan gambut cukup susah
dipadamkan, karena api yang menyala tidak hanya di permukaan tanah tetapi juga
di dalam tanah. Inilah yang membuat penanganan kebakaran lahan gambut cukup
lama meski pemerintah sudah mengerahkan pemadam kebakaran.
Tentu asap
kebakaran hutan ini sangat merugikan dan dapat menimbulkan eksternalitas
negatif. Dampak yang paling dirasakan oleh masyarakat Riau adalah pencemaran
polusi udara. Pencemaran ini sangat mengganggu ativitas masyarakat dan menyebabkan
penyakit saluran pernapasan. Bahkan pekan lalu tingkat pencemaran udara
mencapai level tertinggi yaitu sangat berbahaya.
Menurut Menko
Kesra kerugian ekonomi mencapai 10 trilyun rupiah, terutama di dunia
penerbangan. Akibat lain kabut asap ini yaitu 50.000 lebih penduduk Riau
menderita ISPA dan 3 orang meninggal karena asap dan kebakaran. Dalam ekonomi
lingkungan, ada istilah damage assessment
yang merupakan salah satu cara menilai kerusakan pada sumberdaya alam. Bisa
jadi dengan cara ini kerugian akibat asap jauh lebih besar. Dampak tersebut
berupa biaya pencegahan dengan melakukan modifikasi cuaca, bom air, pemadaman
lewat darat dan sebagainya. Kerugian juga dapat dilihat dari cost of illness atau biaya kesehatan
yang dapat dinilai dari biaya untuk mengobati 50.000 lebih warga yang
terjangkit ISPA. Sektor perdagangan juga mengalami kerugian karena terhambatnya
arus distribusi produk akibat penutupan bandara.
Pembukaan
lahan dengan cara dibakar merupakan langkah yang paling mudah dan murah untuk
mendapat keuntungan yang besar. Akan tetapi kerugian yang ditimbulkan ternyata
jauh lebih besar. Hal ini bisa jadi karena pengaruh prinsip ekonomi yang
berkembang di masyarakat saat ini adalah “berusaha mendapatkan keuntungan
sebanyak-banyaknya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya”. Ini merupakan prinsip
ekonomi yang dikembangkan oleh negara-negara barat.
Seharusnya
sebagai makhluk sosial, dalam melakukan aktivitas ekonomi baik itu produksi,
distribusi maupun konsumsi juga memperhatikan dampak terhdap lingkungan sosial
dan keberlanjutan sumberdaya tersebut agar bisa tetap dimanfaatkan oleh
generasi berikutnya. Dalam Islam, sebenarnya Allah membolehkan manusia untuk
memanfaatkan semua yang ada di bumi. “(Dialah)
Yang menundukan untuk kalian apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi” Q.S Al
Jatsiyah:13.
Mindset
yang dibangun bukan memanfaatkan sumberdaya alam untuk menumpuk kekayaan akan
tetapi memanfaatkan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan
kesejahteraan manusia. Sehingga ada rambu-rambu yang mengatur dalam pemanfaatan
sumberdaya alam tersebut. Al quran menjelaskan pada surat Al Baqarah:60, “Makan dan minumlah kalian dari rezeki yang
telah Allah berikan dan jangan berkeliaran di muka bumi ini dengan berbuat
kerusakan”.. Hal ini diperkuat prinsip yang disampaikan oleh nabi “tidak memadaratkan diri sendiri dan tidak
memadaratkan orang lain” (H.R Ibn Majah, Ahmad, Malik).
Rambu yang
menjadi acuan adalah tidak berbuat kerusakan. Selain itu, pemanfaatan
sumberdaya alam juga tidak boleh merugikan diri sendiri dan orang lain. Untuk
menjaga rambu-rambu ini peran negara sangat penting. Dalam hal ini, pemerintah
mesti menegakkan aturan dengan tegas, karena sumberdaya alam merupakan common property sehingga boleh
dimanfaatkan oleh masyarakat. Jika aturan tidak benar-benar ditegakkan maka
bisa saja terjadi Tragedy of The Common
atau tragedi terhadap barang kepemilikan bersama, dimana sumberdaya tersebut
akan habis karena dimanfaatkan terus menerus tanpa ada yang memikirkan
keberlajutan suberdaya tersebut.
Islam
memberikan solusi dalam pemanfaatan sumberdaya alam. Sumberdaya alam
dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Al Quran dan As Sunnah sudah memebrikan rambu-rambu dalam
pemanfaatn suberdaya alam. Menurut Al Ghazali tujuan syariah Islam adalah untuk
meningkatkan kesejahteraan manusia yang terletak pada perlindungan iman, jiwa,
akal, keturunan dan harta. Sehingga jika pemanfaatan sumberdaya alam tersebut
justru membahayakan jiwa, iman, akal, keturunan dan harta, atau sebagiannya
maka sudah tidak sesuai dengan tujuan syariah. Jika hal tersebut terjadi maka
negara wajib mengevaluasi dan mengambil tidakan untuk melindungi masyarakatnya.
Tentu untuk mencapai kondisi yang ideal memerlukan perubahan terutama pada mindset tentang ekonomi. Dan Islam sudah
menawarkan konsep ekonomi yang menyeluruh jauh-jauh hari sekitar 1400 tahun
yang lalu.