Bencana banjir yang akhir – akhir ini terjadi di sejumlah daerah di negeri kita tercinta seperti di Kudus, Gresik, Papua, dan Sumatra Utara membuat hati bertanya kapan bangsa ini tak ramai dengan bencana? Sudah Menjadi rahasia umum bahwa salah satu faktor penyebabnya adalah cuaca yang tak menentu akibat Climate change. Climate change yang salah satu gejalanya ialah global warming (pemanasan global) memang sudah menjadai isu Internasional dimana semua Negara terkena dampaknya, badai salju di Amerika, mencairnya es di kutub utara dan antartika merupakan sepenggal kecil efek climte change. Beberapa fakta menyebutkan fenomena ini terjadi karena tereduksinya lapisan ozon (O3) akibat emisi gas yang semakin banyak sedang hutan sebagai paru – paru dunia semakin sedikit. Jika melihat lingkup Indonesia, emisi yang menjadi polusi tidaklah sebanyak Negara – Negara barat yang sangat mengandalkan Industri namun Indonesia juga menyumbang hilangnya hutan sebagai penetral polusi dan sebagai daerah resapan air.
Dunia pun mulai paham dan sadar akan gejala alam yang menjadi bencana global, dalam beberapa puluh tahun terakhir ada beberapa kebijakan dan perjanjian sebagai upaya menekan laju global warming antara lain Protocol Montreal yang merupakan perjanjian unutuk menekan depresi ozon yang berada di atmosfer dengan membatasi perdagangan Chloro Fluoro Carbon (CFC), gas yang dapat mereduksi ozon sehingga terjadi efek rumah kaca. Selain Protocol Montreal ada juga kebijakan debt for nature swaps yaitu lembaga pecinta lingkungan di Negara – Negara maju ‘menangani’ atau membayar sebagian hutang Negara berkembang dengan syarat Negara tersebut harus melakukan upaya perbaikan lingkungan. Lalu kebijakan yang baru diterapkan beberapa yahun lalu oleh Negara barat khususnya Eropa adalah penerapan ecolabel (Eco Labelling) untuk komoditas yang diperdagangkan secara internasional.
Secara umum, Eco Labelling menuntut bahwa setiap produk dagangan harus telah didasarkan pada kelestarian sumber daya dan ekosistem dari lingkungan hidup. Dimulai dari pengambilan bahan baku (misalnya kayu), pengangkutan bahan baku ke pabrik, proses dalam pabrik, pengangkutan produk pabrik ke konsumen, pemakaian produk dan pembuangan sampahnya (bekas pakai dari produk) secara keseluruhan tidak mencemari lingkungan(akrab lingkungan). Sertifikasi Eco-Labelling di bidang perkayuan adalah suatu cara untuk memberikan informasi kepada konsumen mengenai produk kayu yang dipasarkan kepadanya dalam bentuk suatu sertifikat atau Eco-Labell yang menunjukkan bahwa kayu tersebut berasal atau dihasilkan dari suatu konsensi hutan yang dikelola secara lestari.1
Walaupun memang perlu diakui sertifikasi Eco Labelliing ini bukanlah hal yang murah, ini akan mengakibatkan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang belum terlalu mapan akan tergilas. Sebab Negara di Eropa dan Amerika sudah memasukan sertifikat Eco Labelling syarat komoditi, terutama kayu, masuk ke negaranya. Namun dampak negative ini masih relatif kecil jika dibandingkan benefit atau manfaat yang dirasakan baik secara ekonomi maupun lingkungan.
Pada sisi ekonomi benefit ini dirasakan oleh UKM yang bersertifikat, khususnya yang memproduksi furniture kayu dan diekspor ke pasar Amerika dan Eropa. Dini Rahim, senior koordinator home furnishing Senada (konsultan yang didanai USAID), ia mengatakan kalau UKM Indonesia mengikuti prosedur dan tahapan dalam modul sustainable practises, maka produk furnitur buatan Indonesia akan semakin diterima pasar global. Apalagi, persaingan furnitur di pasar dunia makin ketat. “Kalau mengandalkan desain, mungkin desain dari Italia lebih bagus. Kalau mengandalkan harga murah, mungkin harga dari China lebih murah. Jadi, salah satu cara agar furnitur Indonesia mendapatkan hati di konsumen dunia adalah dengan adanya label dan sertifikasi produk,”2. Adanya Sertifikat Eco Label akan membentuk kepercayaan pada komoditi kayu yang diekspor adalah komoditi yang ramah lingkungan. Hal tersebut dirasakan betul oleh PT Jawa Murni Lestari, UKM yang bergerak di bidang home furnishing. Selama krisis finansial yang mendera dunia belakangan ini, omzet perusahaan anjlok sampai 20%. Tetapi, karena perusahaan mengantongi sertifikasi, permintaan dari pasar luar negeri terus berdatangan. Walhasil, ketika perusahaan lain kolaps karena gonjang-ganjing ekonomi dunia, mereka masih bertahan. Bahkan, berhasil meraih laba bersih 1,13%.3
Pada prespektif Lingkungan, kebijakan Eco label yang mengharuskan komoditi kayu yang diperdagangkan adalah kayu yang mulai dari proses pangambilan bahan baku sampai pemasaran produk dilakukan denagn ramah lingkungan. Bahkan ada beberapa Negara memastikan terlebih dahulu kayu tersebut bukanlah kayu hasil ilegalloging. Sehingga adanya eco label bisa menekan ilegalloging yang cukup merebak di berbagai daerah di tanah air.
1 www.dephut.go.id/INFORMASI/PROPINSI/JAMBI/eco_labeling.html
2 Majalah Duit.co.id Senin, 30 November 2009
3 Majalah Duit.co.id Senin, 30 November 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar